Kamis, 10 Maret 2011

Urgensi Tasawuf Bagi Para Da’i

Bahwa segala yang telah kita pahami pada pembahasan kali ini adalah penting kiranya seorang da’i menjadi dasar yang kuat bekal bagi seorang da’i, karena dengan tasawuf kita akan mencapai hakikat. Sebagaimana yang terdapat di dalam Tasawuf yaitu mewujudkan Akhlak yang luhur bagi seorang da’i. Sebagaimana akhlak rasulullah.
1.      Kepribadian Nabi Muhammad sebagai Uswah bagi semua Da’i.
Muhammad Rasulallah adalah teladan bagi ummat manusia dan itu dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Sekurang-kurangnya Allah menyebutkan kata uswatun itu sebanyak tiga dalam Al-Qur’an, yaitu QS Al-Ahzab ayat 21 dan QS Al-Mumtahanah ayat 4 dan 6. Keteladanan beliau dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam dakwahnya. Dalam dakwah, Nabi Muhammad Saw lebih mengedepankan dakwah bil hikmah atau contoh yang baik yang direalisasikan dalam kepribadian yang baik (akhlak karimah). Kekuatan kepribadian mulia beliau mampu menarik simpati masyarakat sehingga peluang untuk diterimanya dakwah beliau oleh masyarakat sangatlah besar.
Kita ingat bagaimana Rasulullah Saw tidak marah saat seorang kaum musyrik meludahi beliau setiap pergi ke masjid. Suatu hari, ketika Rasulullah Saw pergi ke masjid, beliau merasakan keanehan karena orang yang setiap saat meludahi beliau setiap akan pergi ke masjid tidak ada. Sesampainya di masjid Rasulullah Saw menanyakan kepada para sahabat di mana orang itu berada. Lalu Rasulullah Saw memperoleh jawaban bahwa orang yang meludahi beliau jatuh sakit. Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah datang membesuk orang tersebut dan mendoakan kesembuhan baginya. Akhirnya, orang tersebut kemudian menyatakan diri sebagai Muslim.
Contoh lain keluhuran perilaku Rasulullah adalah kisah seorang pengemis Yahudi buta di pojok pasar Madinah yang selalu menjelek-jelekkan Rasulullah Saw. Setelah Rasulllah Saw meninggal dunia, Abu Bakar ash-Shiddiq mengunjungi Aisyah, anaknya yang juga isteri Rasulullah Saw. Sesampainya di rumah Aisyah, Abu Bakar bertanya kepada anaknya apa sunnah Rasulullah yang belum dikerjakan olehnya. Aisyah menjawab bahwa Rasulullah Saw setiap memberi makan pengemis Yahudi buta di pasar Madinah. Abu Bakar pun bergegas menuju pasar Madinah menemui orang Yahudi tersebut yang tak henti-hentinya menjelek-jelekkan Rasulullah Saw. Namun, karena ingin mengikuti sunnah Rasulullah Saw, Abu Bakar tetap memberi makan Yahudi buta tersebut dengan cara menyuapinya. Namun alangkah kaget Abu Bakar karena saat menyuapi Yahudi tersebut berkata, “Siapa kamu? Orang yang biasa menyuapiku makan tiap hari terlebih dahulu melembutkan makanan sehingga mulutku tidak perlu mengunyah makanan”. Kemudian Abu Bakar berkata kepada pengemis Yahudi buta itu bahwa orang yang bisa memberinya makan tiap hari telah tiada. Abu Bakar juga mengatakan bahwa orang yang biasa memberinya makan tiap hari adalah Rasulullah Saw. Betapa terkejut Yahudinya tersebut mengetahui bahwa orang yang menyuapinya adalah Rasulullah Saw; orang yang setiap hari dijelek-jelekkannya. Akhirnya pengemis Yahudi buta itu masuk Islam.
Dua peristiwa di atas adalah sekelumit contoh bagaimana ampuhnya kepribadian mulia menarik minat seseorang untuk hidup di bawah naungan ajaran Islam. Karena itu, kepribadian yang baik patut dikedepankan oleh setiap da’i demi tercapainya kesuksesan dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam seperti yang dilakukan Rasulallah Saw. Oleh karena itu di dalam al-Quran Allah Ta’ala berfirman :
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
Demikianlah ajaran dari Yang Mulia Rasulullah SAW kepada umat beliau SAW, supaya umat beliau SAW meneladani dan mencontoh sunnah-sunnah beliau SAW. Dengan melalui kekuatan akhlak beliau SAW, pada akhirnya beliau SAW mampu merubah kondisi kaum kuffar Quraisy yang diliputi oleh kejahiliyahan menjadi kaum yang tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Maka tak heran apabila ajaran untuk mewarnai kehidupan umatnya dengan akhlaqul karimah telah menjadi bagian dari ajaran pokok Rasulullah SAW. Sehingga di dalam sebuah riwayat hadits disebutkan:
 “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi )
Karena Rasulullah SAW merupakan Rasul yang diutus sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia, maka ajaran cinta, kasih dan sayang juga harus terimplementasi dengan benar dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sebab dibangkitkannya Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Dan salah satu bukti dari kesempurnaan akhlak adalah orang-orang beriman harus mampu menjadikan keberadaan dirinya sebagai rahmat bagi sesama umat maupun umat yang lain.
Dimanapun mereka berada, maka mereka harus mampu menjadi sumber kedamaian dan ketentraman dan bukan malah menjadi ancaman dan teror bagi yang lainnya. Hal inilah yang harus menjadi spirit dalam dakwah kita dan menjadi bagian dalam kehidupan kita sehingga apabila seluruh teladan dari Yang Mulia Rasulullah SAW telah mengambil warna dalam akhlak kita, Insya Allah kekuatan akhlaqul karimah akan dapat menjadi sumber kekuatan yang sangat efektif dalam proses dakwah kita.
2.      Urgensi kepribadian Da’i dalam dakwah
Kepribadian seorang da’i merupakan salah satu hal terpenting dalam dakwah, kepribadian yang baik haruslah senantiasa dimiliki oleh seorang da’i. Adapun akhlak dan karakter yang seharusnya dimiliki oleh para da’i, seperti yang dijelaskan Allah SWT di dalam banyak ayat di dalam beberapa tempat di dalam kitab-Nya yang mulia.
Diantaranya adalah :
Pertama : Ikhlas. Wajib bagi setiap da’i untuk mengikhlaskan diri kepada Allah SWT, bukan karena keinginan untuk riya’ (pamer supaya dilihat orang) dan sum’ah (pamer supaya didengar orang) dan bukan pula untuk mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hanya saja ia berdakwah kepada untuk mengharap ridha Allah SWT semata, Maka wajib bagi kita untuk mengikhlaskan diri kepada Allah SWT, dan hal ini merupakan akhlak yang paling penting dan sifat yang paling agung yang seharusnya kita gunakan di dalam dakwah kita, yang kita hanya mengharap ridha Allah.
Kedua : Dakwah juga harus dengan ilmu, karena ilmu itu merupakan kewajiban. Jauhilah berdakwah dengan kebodohan dan berkata-kata dengan sesuatu yang tidak kita ketahui. Sesungguhnya kebodohan itu akan menghancurkan tidak bisa membangun dan merusak tidak bisa membenahi.
Dakwah haruslah dengan bashiroh, yaitu ilmu. Maka wajib bagi penuntut ilmu dan da’i untuk menggunakan bashiroh ketika berdakwah dan mencermati apa yang ia dakwahkan dengan dalil-dalilnya. Apabila telah jelas baginya kebenaran dan ia mengetahui kebenaran maka hendaklah ia berdakwah menyeru kepadanya, baik itu berupa perbuatan untuk mengamalkan atau meninggalkan, yaitu berdakwah kepada pengamalan apabila merupakan ketaatan kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan berdakwah kepada meninggalkan apa yang dilarang Alloh dan Rasul-Nya di atas petunjuk dan bashiroh.
Ketiga : Kita haruslah berlemah lembut dan ramah di dalam berdakwah dan bersabar sebagaimana sabarnya para rasul ’alaihimush Sholatu was Salam. Sebagai seorang da’i hendaknya kita menjauhi sikap terburu-buru, bengis dan keras. Wajib bagi kita bersikap sabar, lemah lembut dan ramah di dalam dakwah. Seperti diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
Di dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda :
”Ya Allah, siapa saja yang mengatur sesuatu dari urusan ummatku dan ia bersikap lemah lembut kepada mereka maka bersikap lemah lembutlah padanya dan siapa saja yang mengatur sesuatu dari urusan ummatku dan ia bersikap kasar kepada mereka maka bersikap kasarlah pada dirinya.” (HR. Muslim)
Maka wajib bagi kita untuk bersikap lemah lembut di dalam dakwah dan tidak bersikap kasar kepada manusia. Kita wajib bersikap ramah dan bersabar serta berkata dengan lembut, halus dan baik sehingga mempengaruhi hati mad’u dan menggerakan hati mereka untuk mengikuti apa yang kita serukan kepada mereka.
Termasuk akhlak yang paling penting dan paling agung yang harus dimiliki seorang da’i adalah ia harus mengamalkan apa yang ia dakwahkan dan meninggalkan apa yang ia larang. Karena Allah sangatlah membenci orang yang menyampaikan kebaikan dan melarang kemunkaran tetapi dirinya tidak melakukan kebaikan tersebut. Sebagaimana firmannya:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS ash-Shaaf : 2-3)
Hendaklah seorang da’i menjadi orang yang berakhlak mulia dan berperangai terpuji, yang sabar dan senantiasa menjaga kesabarannya, yang ikhlas di dalam dakwahnya dan bersungguh-sungguh di dalam menyampaikan kebaikan kepada manusia dan menjauhkan mereka dari kebatilan, disamping itu juga mendoakan hidayah bagi mereka.

Dakwah Islam dan Tasawuf

1.       Tasawuf sebagai Kelanjutan Syariat
Antara tasawuf dan Islam tidak dapat dipisahkan karena syariat Islam adalah menekankan pada perbuatan lahir dan aspek bathin adalah tugas tasawuf. Syariat merupakan bagian tak terpisahkan bagi tasawuf, keduanya merupakan sisi mata uang yang tak dapat di pisahkan . lebih dari rutinitas ritual, sesungguhnya agama memerlukan suatu penghayatan . shalat misalnya, lebih dari sekedar gerakan-gerakan lahir, ia memiliki konsekuensi batin yang justru mesti dijaga terutama di luar waktu shalat.[1]
Kalau seusai salam orang langsung terjun bebas ke dalam berbagai maksiat, berarti ia baru solat secara lahir saja. Ini barangkali yang sering di bilang orang, “shalatnya jalan terus tapi maksiatnya pun rutin”. Menurut ahli fiqih selama memenuhi persyaratan formal. Akan tetapi, para sufi berpandangan berbeda . sambil tidak mengabaikan persyaratan formal, mereka lebih menekankan fungsi sholat. Mereka mengkaitkan sholat dengan persoalan apakah sholat telah membentuk kepribadian  pelakunya atau belum? Di dinilah arti penting penghayatan agama. Shalat baru dikatakan berfungsi jika betul-betul terbukti mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Al-Ankabut:45.

Artinya: Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Diantara contoh lain dari syariat adalah: sebagaimana syarat sah solat adalah wudhu, suci dari hadas besar dan kecil, menghadap kiblat, mengetahui waktunya solat dan menutup aurat. Para fuqaha pada umumnya menganggap bahwa suci di sini adalah suci dari fisik, seperti suci pakaian, tempat dan badan saja. Tapi Imam Maliki memiliki pendapat unik. Bahwa suci disini adalah suci bathin. Dasarnya adalah hadis, sesungguhnya Allah tidak melihat aspek lahir seperti rupa atau bentukmu tetapi, tapi dia melihat hatimu. Dalam tasawuf hati memiliki fungsi sentral. Hati harus senantiasa aktif dalam mendirikan sholat.
Jika syariat dihayati dengan tasawuf, maka ia akan membuat pelakunya dekat kepada Allah. Dengan kata lain, ketika seseorang telah betul-betul mematuhi agamanya. Dari menjauhkan diri dari berbagai pelanggaran, baik secara aspek lahir maupun bathin, maka dengan sendirinya ia akan merasa dekat dengan Allah. Tapi begitu ia melakukan kesalahan, posisi kedekatannya dengan Allah mulai terganggu dan membuatnya merasa tersiksa dan mencemaskannya.
2.      Tasawuf sebagai Falsafah Akhlak
Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah keadaan yang bersemayam di dalam jiwa yang menjadi sumber keluarnya tingkahlaku, dengan mudah tanpa dipikir untung ruginya.[2] Pada awalnya Akhlak Tasawuf difahami sebagai  menekuni Ibadat kepada Allah dan berpaling dari kemewahan duniawi. Penekanan tasawuf pada mulanya adalah zuhud, ibadat, faqr, dalam arti bekerja keras melaksanakan perintah agama dan memelihara hukum-hukum syariat. Asumsi bahwa tingkah laku hina yang dikerjakan manusia itu penyakit rohani yang perlu diperbaiki.
Kalangan ulama pada dasarnya sepakat bahwa akhlak seseorang itu berpijak pada keyakinan kepada Allah. Akhlak seseorang tak berarti apa-apa tanpa keimanan, percaya atas keabadian ruh dan kehidupan akhirat. Pemikirin akhlak selanjutnya bahkan, seperti yang dikatakan oleh hadis nabi, bahwa manusia harus meniru akhlak Allah, hanya pada Allah tempat meniru kesempurnaan.
Pada Allah terkumpul kesempurnaan yang sebenarnya dari semua sifat baik, terkumpul harmoni keseimbangan kasih sayang (al-rahman al-rahim), keperkasaan dan kekuasaan(qadir jabar), sifat pemaaf(ghofur). Sebagai contoh sifat Allah maha pemberi, butir nilai akhlak yang diajarkan juga anjuran berkorban, memberi secara optimal tanpa mengharap balasan. Pada akhirnya puncak ilmu akhlak adalah apa yang diajarkan oleh para sufi, yaitu ilmu tasawuf. Sebagaimana terbaginya terhadap beberapa bagian.
Pangkal pokok dari akhlak ini adalah pengalaman spiritual sufi , yakni yang membawa kesucian akhlak, yang diakui kesakralannya oleh masyarakat (Islam) sepanjang masa. Tidak keliru jika dikatakan bahwa filsafat akhlak di dalam Islam tumbuh dalam naungan tasawuf, dan berbentuk melalui usaha para sufi yang menempuh kehidupan kesufian, yang kemudian menjadi contoh utama akhlak yang tinggi.
Esensi filsafat Akhlak adalah menekan dorongan hewani pada sifat kemanusiaan dan membimbing instink serta motif dengan akal. Tasawuf melampui batasan ini dengan mengendalikan dan mengatur konflik bathin dari sisi indrawi dan sisi spiritual. Psikologi modern pun mengakui bahwa  jiwa manusia itu merupakan dari dimensi kewehanan dan kemanusiaan. Kesehatan mental menurut psikologi tergantung kepada keseimbangan antara kedua dimensi tersebutt.
Dalam beberapa literatur keislaman, kepribadian Islam seringkali diidentikkan dengan akhlak atau tasawuf. Tasawuf yaitu salah satu aspek ajaran Islam yang membahas tentang perilaku bathin manusia. Abd al-Mujib dalam bukunya membagi tiga tipe kepribadian, yaitu tipe kepribadian ammarah, kepribadian lawwamah, dan kepribadian muthmainnah. Pembagian tipe ini didasarkan atas konsistensi dengan pembahasan struktur kepribadian dan dinamikanya.
Berikut tipologi kepribadian yang dimaksud, antara lain:
a.     Tipe Kepribadian Ammarah
Tipe kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan naluri primitifnya. Hal ini menyebabkan ia menjadi tempat dan sumber kejelekan dan perbuatan tercela. Bentuk-bentuknya seperti syirik, kufur, riya’, nifaq, zindiq, membanggakan kekayaan, mengikuti hawa nafsu, sombong dan ujub, boros, riba, mengumpat, pelit, benci, pengecut, fitnah, berangan-angan, khianat, ragu, buruk sangka, rakus, zalim, adu domba, dan tabiat jasad yang mengejar prinsip-prinsip kenikmatan syahwati lainnya.
b.    Tipe Kepribadian Lawwamah
Tipe kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang mencela perbuatan buruknya setelah memperoleh cahaya kalbu. Ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya dan kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak gelapnya, tetapi kemudian diingatkan ilham sehingga ia bertaubat. Bentuk-bentuk tipe kepribadian sulit ditentukan, sebab ia merupakan kepribadian yang bernilai netral antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah.
c.    Tipe Kepribadian Muthmainnah
Tipe kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang tenang setelah diberi kesempurnaan cahaya kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Bentuk-bentuk kepribadian muthmainnah terbagi tiga jenis, yaitu (1) Kepribadian Mukmin, yang memiliki enam bentuk kepribadian: rabbani atau ilahi, maliki, qurani, kepribadian rasul, yawm akhiri, dan taqdiri. (2) Kepribadian Muslim: syahadatain, mushali, shaim, muzakki, dan haji. (3) Kepribadian Muhsin, yang memiliki multibentuk kepribadian.
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah memberi batas diametris antara kepribadian muthmainnah dan kepribadian ammarah. Jika kepribadian muthmainnah dianggap sebagai perilaku yang positif, maka kepribadian ammarah dianggap sebagai perilaku negatif. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
Perbedaan Kepribadian Muthmainnah dan Ammarah
No.
Kepribadian Muthmainnah
Kepribadian Ammarah
1.
2
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Memiliki harga diri (hamiyyah)
Merendahkan diri (tawadhu)
Dermawan (judd)
Kewibawaan (mahabbat)
Berani (syaja’at)
Prihatin (huzn)
Hemat (iqtishad)
Waspada (ihtiraz)
Firasat (farasat)
Memberi peringatan (nashihat)
Memberi hadiah (hadiyah)
Memaafkan (‘afw)
Pengharapan (raja’)
Menceritakan nikmat (tahaddus)
Berhati lembut (riqqah al-qalb)
Menyerahkan diri (tawakal)
Hati-hati (ihtiyat)
Inspirasi dari malaikat (ilham)
Nasihat (nashihat)
Bersegera (mubadarah)
Curahan hati (ikhbar al-hal)
Menjatuhkan harga diri (Jufa’)
Menghinakan diri (muhannah)
Menghambur-hamburkan harta (Sarf)
Kesombongan (kibr)
Nekat (jar’at)
Penakut (jubn)
Pelit (syukhkh)
Buruk sangka (su’udzhan)
Persangkaan (zhann)
Menunjukkan keburukan orang (ghibah)
Menyuap (riswah)
Suka menghinakan diri (zull)
Angan-angan (tamanni)
Bangga harta (fakhkhar)
Keluh kesah (jaza’)
Lemah hati (‘ajz)
Ragu (was-was)
Inspirasi dari syaitan (ilham min syaitan)
Mencerca (ta’nib)
Terburu-buru (‘ajlat)
Keluh kesah (syakwa)
Pada tabel tersebut, Ibn Qayyim tidak menentukan kepribadian lawwamah. Sebab kepribadian lawwamah secara esensial tidak memiliki posisi yang menetap, sedangkan dua kepribadian lain sifatnya permanen. Kepribadian muthmainnah dan kepribadian ammarah ibarat dua kutub yang berlawanan, sedangkan kepribadian lawwamah berada pada posisi netral yang ditarik kedua kepribadian.
3.      Islam dan Tasawuf
Setelah menelaah beberapa uraian mengenai tasawuf dalam dunia umat Islam, maka  ada beberapa kesimpulan pendirian dibawah ini:
1.      Tasawuf bukanlah merupakan bagian integral dari agama Islam dengan beberapa alasan.
a.    Tidak satu patah kata sufi dan tasawuf pun dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
b.   Dalam terminology tasawuf, Orang Islam kita mengenal Istilah-Istilah Syariat, Thariqat, haqiqat dan Ma’rifat. Menurut Penafsiran para sufi yang sama sekali tidak kita dapati dasarnya yang kokoh dalam  al- Qur’an dan as-Sunnah.
c.    Dalam tasawuf, orang Islam kita mengenal pembagian tasawuf aqidah, dan tasawuf ibadah disamping tasawuf akhlaq (gabungan akidah, muamalah, ibadah dan akhlak = umat Islam)
d.   Tasawuf dengan istilah lain, seperti mistik terdapat dalam berbagai agama.
e.    Istilah sufi dan tasawuf baru timbul dalam sejarah kebudayaan islam pada abad ketiga hijriah. Walaupun zuhd ‘pertapaan’ timbul pertama kali dalam masyarakat Arab sejak akhir abad pertama hijriah.
2.      Jika filsafat merupakan usaha penafsiran failusuf secara rasional, maka tasawuf merupakan satu sistem penafsiran atau interpretasi kaum sufi secara nonrasional yaitu secara mystic berdasarkan cinta kasih.
3.      Tasawuf Islam dibedakan dari tasawuf muslim atau tasawuf muslim atau tasawuf orang Islam yang kita terima adalah dalam arti satu sistem interpretasi atau penafsiran terhadap ajaran Islam oleh kaum sufi muslim berdasarkan cinta kasih kepada Allah azza wa jalla yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunah. Walaupun begitu, tasawuf Islam dalam arti seperti diatas itupun bukan bagian langsung dari Islam, sebagaimana filsafat Islam bukanlah bagian integral dari agama Islam. Nilai kebenaran Islam mutlak, sedangkan tasawuf maupun filsafat, nilai kebenarannya tidak mutlak.
4.      Tasawuf islam, seperti yang terdapat pada bagian  di atas banyak terasa jasanya dalam memantapkan rasa tauhid, dalam menghusyukkan ibadah dan memperhalus akhlak umat Islam.
5.      Tasawuf sebagai interpretasi sufi muslim, sebagian besar banyak yang jauh menyimpang dari ajaran Islam, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang ibadah, juga dalam akhlak.
6.      Tasawuf sebagai sistem penafsiran yang nonrasional banyak membawa umat Islam kepada sikap hidup meninggalkan atau mengekang perkembangan rasio yang merupakan unsur mutlak dalam kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnik.
7.      Sepanjang penyaksian sejarah lemah dan mundurnya umat Islam disebabkan oleh ajaran tasawuf yang menyesatkan. 


[1]Endang Syaifuddin Anshari, Op. Cit, h. 366.

[2]  Ahmad Mubarok,  Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf: Pendakian Menuju Allah, ( Jakarta: Paramadina, cet.2, 2005), h.93.