Kamis, 10 Maret 2011

Pertumbuhan Masyarakat Islam dan Keistimewaannya

Sesungguhnya dakwah Islamiyah yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu, membimbing manusia untuk mengenal Tuhan mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.
Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan wujudnya Tuhan; tetapi mereka salah pilih dalam hal mengenal hakikat Tuhan yang benar. Mereka menyekutukan Tuhan yang benar dengan tuhan-tuhan yang lain. Bisa dalam bentuk ibadat dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan dan kekuasaan. Kondisi tersebut adalah perwujudan  dari masyarakat Jahiliyah.
Masyarakat Jahiliyah sangatlah menentang terhadap kehadiran Islam, karena masyarakat Jahiliyyah akan mempertahankan dirinya dengan segala cara, namun kaum muslimin tidak gentar menghadapi mereka dan berjuang untuk menyingkirkan keyakinan Jahiliyyah dalam masyarakat sehingga masyarakar Islam dapat tegak dalam kehidupan.
Masyarakat Jahiliyyah adalah hambatan utama berdirinya aqidah Islam karena aqidah Islam berusaha menjadikan ajaran Rasul sebagai pegangan hidup. Karena Rasul berusaha menyeru mereka kepada tauhid dan tunduk kepada Allah. Karena Islam berusaha membuang tradisi kemusyrikan seperti perdukunan, sihir dan lain-lain, dalam politik seperti yang terjadi pada kaum Quraisy berusaha menjadikan mereka tunduk kepada ajaran Islam dan ini tidak akan mungkin terjadi kecuali apabila kaum muslimin berepegang teguh kepada Islam.
Tetapi, kondisi masyarakat Jahiliyah yang tegak berdasarkan pengabdian manusia atas sesama manusia, dan juga berdasarkan penyelewengan dari hukum kejadian alam serta berdasarkan perampasan undang-undang buatan manusia dengan undang-undang Allah dan fitrah, itulah bentuk Jahiliyah yang telah dihadapi oleh setiap Rasul yang menjalankan dakwah ke jalan penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa.
 Kondisi masyarakat Jahiliyah tidak menjelma didalam bentuk teori saja. Ia menjelma dalam bentuk organisasi, dalam bentuk masyarakat dan perkumpulan yang tunduk kepada kemauan dan arahan masyarakat itu, tunduk kepada kehendak konsep, nilai-nilai dan faham, perasaan dan kebiasaan. Ia merupakan masyarakat yang terikat kuat, tersusun, setia, rapi, padu dan tak mungkin direnggangkan. Inilah yang menyebabkan masyarakat itu bergerak, secara sadar atau tak sadar, untuk mengekalkan wujudnya dan mempertahankan hayatnya, menentang dan menghancurkan semua unsur yang membahayakan wujud dan hidupnya dalam bentuk ancaman apa pun.
Dalam menghadapi masalah ini, kita harus bersatu karena masyarakat Jahiliyyah juga bersatu dan saling membantu satu sama lain. Inilah kemuliaan Islam berbeda dengan masyarakat Jahiliyyah dan tidak mungkin kita mengembalikan kemuliaan Islam ini dengan sistem Jahiliyyah dalam segala waktu dan tempatnya, dan kita harus menyikapinya dengan pemahaman yang baru.
Inilah tantangan dakwah dalam sepanjang sejarah umat manusia yaitu mengajak mereka pada Islam dan berserah diri pada Allah dan mengeluarkan mereka dari kemusyrikan dan menjauhkan mereka dari ketundukan pada penguasan yang zolim, mereka segera taat kepada Allah dalam segala aspek. Oleh karena ini Islam datang melalui Rasulullah. Sesungguhnya Islam merupakan agama yang paling sempurna, yaitu penyempurna dari semua agama-agama yang pernah diturunkan Allah SWT kepada ummat-Nya, ini ditegaskan dalam firman-Nya : (QS.An-Nahl:36)
Artinya: “Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan)”: "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[826] itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya[826]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Dan (QS Ali Imran [3]: 85)
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
Ayat ini menegaskan Islam adalah agama sempurna  dunia, dengan nabi  Muhammad sebagai rasul yang terakhir dan Al Qur’an sebagai kitab penuntunnya, setelah Nabi Musa AS dengan Tauratnya, Nabi Daud dengan Zaburnya dan Nabi Isa AS dengan Injilnya.  Pada agama sebelum Islam terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan sehingga Allah mengutus Nabi Muhammad dan al-Qur’an sebagai solusi dari semua penyimpangan tersebut.
Islam datang kepada manusia untuk ketaatan kepada Allah semata, jadi hendaknya kekuasaan yang mengatur hidup mereka sesuai kehendak Allah, tidak boleh tunduk kepada kekuasaan yang sesat. Sesungguhnya manusia itu tunduk kepada aturan Allah dalam segala hal baik hidup, sehat, mati, dan sakitnya. Hal ini juga berlaku dalam seluruh kehidupan mereka di masyarakat.
Mereka tidak punya kekuasaan untuk merubah sunatullah (ketetapan Allah), oleh karena itu mereka harus berpegang teguh pada Islam dalam segala kehidupan. Mereka hendaknya menjadikan syariat sebagai ketetapan hidup mereka, akan tetapi kejahiliyahan yang ditentang oleh semua Rasul khususnya Rasulullah saw adalah kejahiliyahan yang menjadikan manusia sebagai budak atas yang lain dan membuat mereka ragu akan adanya Allah dan membenturkan antara fitrah sebagai manusia dan nafsunya.
Kejahiliyahan ini nampak dalam masyarakat kita, yaitu masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai kesempurnaan saling tolong menolong dan lain-lain. Kejahiliyahan ini hanya bersifat semu namun tidak mudah untuk mengikisnya sehingga mereka ingin kembali kepada Allah yang mana akan membuat mereka mulia dan itulah yang diinginkan.
Sesungguhnya dasar utama yang membuat kokohnya dan menjadi penggerak kondisi masyarakat Islam adalah akidah, yaitu akidah yang tercermin dalam beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul dan hari akhir dan takdir Allah”.[1]
Sebagaimana firman Allah SWT : (Al-Baqarah : 285)
Artinya : “Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Dalam bahasa arab, kata aqidah berasal dari kata ‘aqd, yang secara harfiah, berarti sesuatu yang mengikat. Janji, sumpah setia, dan berbagi bentuk transaksi lainnya dinamai ’aqd (akad), karena ia mengikat setiap pihak yang terlibat didalamnya. Iman yang kuat kepada Allah Swt. Tanpa ada sedikitpun keraguan didalamnya dinamai akidah.[1] Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa setiap manusia menyatakan janji dan komitmen untuk senantiasa menuhankan Allah Swt. Dan hanya menyembah hanya kepadanya, sesuai pertanyaan Allah dalam surat QS. Al-A’r af:172
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman)”: “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)".
Maksud dari tegaknya masyarakat diatas akidah Islam adalah berdiri dengan menghormati dan mensucikan akidahnya secara  utuh, dan berusaha memasukkannya dalam akal dan hati mereka, membimbing pertumbuhan Islam diatasnya, dan berusaha menghadapi dan mengikis kebatilan yang dilancarakan oleh musuh-musuhnya, dari syubhat-syubhat orang-orang yang tersesat, bahkan berusaha menampakkan kelebihan-kelebihannya dan pengaruhnya dalam setiap kehidupan, baik individu maupun sosial kemasyarakatan”.[3]
Jadi akidah merupakan dasar utama yang kokoh pada setiap bangunan sosial yang kuat, dan merupakan unsur terpenting dalam menyatukan umat hingga berada dalam satu barisan dari masyarakat jahiliyah yang berusaha menghancurkan Islam”[4]. Dan akidah ini belumlah bisa terpatri dalam jiwa mereka dan merasuk dalam hati mereka jika sekedar memeluk agama Islam, atau dengan mengucapkan dua kalimat syahadat; bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah saja, bahkan tidak terwujudkan dengan hanya sekedar menegakkan kaidah-kaidah islam secara teori dalam jiwa setiap individunya, walaupun jumlah mereka begitu banyak, serta tidak hanya sekedar dalam kumpulan seperti satu anggota tubuh saling bergotong royong dan tolong-menolong.
 Kecuali dirinya memiliki wujud yang tersendiri, setiap anggotanya bergerak secara bersamaan–seperti anggota tubuh yang hidup dalam rangka menta’shil (mengorisinalkan) eksistensi dan keberadaannya, bergerak dibawah qiyadah yang merdeka dari qiyadah masyarakat lainnya yaitu qiyadah yang baru, yang dipimpin oleh Rasulullah saw yang bertujuan mengembalikan manusia menuju pengakuan akan keesaan Allah, melepas diri mereka yang telah berikrar bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah dari masyarakat jahiliyah”.[5]
Menurut mahaguru tafsir, ibnu katsir, iman dan syahadah adalah iman dalam bentuk fitrah yang merupakan kecendrungan atau watak dasar manusia. Itu sebabnya sebagian pakar menyebut iman dan syahadah semacam ini sebagai “perjanjian  primordial” yang intrinsic dan inheren menyertai setiap kelahiran anak manusia.[2] Sesuai firman Allah dalam Al-quran QS.Al-Rum[30]:30.
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Ketika periode Mekkah, Al-Quran turun dalam kurun waktu 13 tahun, pokok pembahasan yang diberikan adalah akidah, bahkan menjadi permasalahan yang mendasar pada saat itu, karena akidah merupakan rukun pertama dan penting bagi manusia secara individu dan sosial, dan dalam mendirikan masyarakat secara keseluruhan hingga dapat membekas dan memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat lainnya.
Namun setelah datang perintah untuk hijrah ke Madinah sebagian ayat-ayat Al-Quran tentang akidah tidak begitu banyak kecuali hanya pada batasan yang normal tidak  seperti pada periode Mekkah, karena pada periode Mekkah adalah sebagai ta’sis (peletakan batu pertama) yang tentunya sudah tegak berdiri, sementara pada periode Madinah masyarakat Islam pada hakekatnya telah berdiri.
 Namun masih membutuhkan akan sistem dan undang-undang yang mengaturnya, serta jihad di jalan Allah dalam rangka mempertahankan dan menghadang serangan dari pihak musuh, dan juga sebagai sarana menyebarkan Islam dimuka bumi. Demikianlah awal dari terbentuknya mujtama Islam, sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas dan berbeda dengan masyarakat lainnya, merdeka dari ikatan dan sistem serta undang-undang yang lain, masyarakat yang terpancar dari satu prinsip yaitu akidah Islamiyah.
Dan darinya mampu mengalahkan kebatilan yang dibuat oleh masyarakat jahiliyah, sebagaimana darinya juga menghasilkan “realitas kehidupan yang mengagumkan dalam penegakan masyarakat Islam tanpa ada perbedaan suku dan ras, perbedaan tempat tinggal dan warna, dan perbedaan jarak baik yang dekat maupun yang jauh, bahkan menjadi masyarakat yang terbuka bagi semua suku, ras, bahasa dan warna”.[6] Yaitu masyarakat yang mendunia mencakup segala lapisan masyarakat, tanpa ada perbedaan suku dan ras dan tempat tinggal. Seperti yang difirmankan Allah SWT : (Al-Hujurat : 13)
Artinya:“Wahai sekalian manusia sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan wanita, dan Kami jadikan berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang peling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar”. (Al-Hujurat : 13)
Dalam hadits Nabi juga disebutkan, dari Abi Nadroh[7] berkata, Rasulullah saw bersabda :
 “Wahai sekalian manusia ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, ketahuilah tidak kelebihan bagi orang arab atas orang ajam, dan orang ajam atas orang arab, dan tidak orang berkulit merah dan hitam dan hitam atas merah kecuali taqwa”. (HR. Imam Ahmad bin Hanbal)
Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah berskala international, yang di dalamnya diutus Rasulullah saw untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa kabar gembira bagi siapa yang mengikuti risalahnya dan beriman kepadanya dan pembawa peringatan kepada mereka yang ingkar dan kufur kepadanya, dan bukanlah Rasulullah saw tidaklah diutus untuk suku Quraisy, bukan untuk jazirah arab dan bangsa sama saja namun untuk umat manusia seluruhnya. Sebagaimana Allah berfirman : (Saba’ : 28)
Artinya: “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui”.
Dari sini jelas bahwa tugas utama yang diamanahkan Allah kepada umat Islam sebagai masyarakat yang memiliki keistimewaan “tidak lain kecuali memberikan petunjuk kepada manusia menuju kebaikan yang dibawa oleh Islam dan memelihara akidah Islam para pengikutnya[8] kemudian membersihkan masyarakat dari kedzaliman masyarakat lainnya karena Islam merupakan agama yang sempurna, mampu mendisiplinkan kehidupan umat manusia secara keseluruhan; baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan sistem-sistem yang lainnya. Namun semuanya telah ada dalam syariat Islam dengan manhaj yang satu dan sumber yang satu yaitu Allah SWT melalui  Rasulullah saw dan al-Qur’an.
Ringkasnya adalah bahwa masyarakat yang hidup pada periode pertama adalah merupakan masyarakat yang istimewa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembangunan masyarakat setelahnya. Masyarakat sangat istimewa dari masyarakat yang lainnya seperti masyarakat Jahiliyah pada saat itu dan masyarakat lainnya, karena masyarakat ini tumbuh pada prinsip yang satu, manhaj yang satu,  pemimpin yang satu, yaitu akidah Islam yang tertuang dalam dua kalimat syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan manhajnya adalah Al-Quran, sementara pemimpinnya adalah Nabi Muhammad saw.
Dan masyarakat Islam tidak tumbuh dengan tangan hampa tanpa ada sistem dan syariat karena hal tersebut merupakan keharusan guna memberikan batasan dalam geraknya agar tidak mengalami penyimpangan kepada jalan yang lain saat akan membentuk masyarakat yang baik, karena “syariah merupakan fenomena yang penting dalam perkembangan suatu masyarakat, dan akan terus sejalan dengan perkembangan zaman dan berada disampingnya yang akan selalu memenuhi panggilan, sehingga Islam terus mengalami perkembangan dan pembaharuan. Kerenanya bukanlah masyarakat Islam yang membentuk dan merekayasa undang-undang (syariah) namun syariahlah yang membentuk masyarakat Islam. Syariahlah yang memberikan batasan-batasan baik ciri dan karakteristiknya, dialah yang mengarahkan dan menunjuki jalan, dan syariah juga tidak hanya menjawab setiap peristiwa yang sifatnya sementara saja, seperti layaknya yang terjadi pada undang-undang konvensional namun dia merupakan manhaj ilahi yang selalu mengikuti perkembangan kehidupan manusia secara keseluruhan, serta mendorongnya kepada kondisi menuju kesempurnaan dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang diharapkan”.[12]
Mengutip ungkapan salah seorang imam agung Abul A’la Al-Maududi[13] saat berbicara tentang kebangkitan Rasulullah saw untuk mewujudkan tujuan peribadatan dan membangun individu menuju pribadi yang baik dan masyarakat yang salih : “Lihatlah sejenak apa yang dilakukan oleh Nabi dari fase-fase dan kedisiplinan untuk mencapai kapada tujuan ini, beliau telah mendakwahkan manusia pada permulaan dan sebelum sesuatunya- kepada iman dan hikmah dalam hati mereka, lalu dikuatkan kembali dalam kaidah-kaidah yang lebih luas dan lapang, lalu ditumbuhkan dan dibina pada mereka yang beriman kepadanya dengan ajaran dan pembinaan sesuai dengan kondisi keimanan mereka secara bertahap melalui ketaatan yang nyata–Islam dan kebersihan akhlak, taqwa, cinta kepada Allah dan loyal kepada-Nya Ihsan. Kemudian disyariatkan  kepada mereka yang beriman dengan ikhlas dan disiplin secara berkelanjutan untuk berusaha menghancurkan sistem yang jahiliyah yang merusak dan menggantinya dengan sistem yang baru yaitu Islam, berdiri diatas kaidah akhlak dan madani yang diambil dari undang-undang yang telah diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.
Kemudian setelah dengan nyata mereka beriman dan mau menerima seruannya dalam berbagai aspeknya dengan hati dan akal, jiwa dan akhlak, bahkan dengan ideology dan perbuatan mereka- sehingga mereka menjadi kaum muslimin yang bertaqwa dan muhsinin secara benar, lalu mereka berjalan menuju perbuatan yang selayaknya dilakukan oleh hamba-hamba yang muklis untuk dilakukan, demikian itulah Nabi Muhammad, yang telah berhasil mengarahkan mereka menuju kehidupan yang dihiasi dengan ketaqwaan, muhsin dalam etika, adab yang sopan; baik dalam bergerak, berpakaian, makan dan minum, kehidupan sehari-hari, berdiri dan duduk, dan lain sebagainya dari urusan-urusan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari”.[14]
Adapun karakteristik masyarakat Islam, sebagai berikut :
1.    Rabbani
Pada sebelumnya, telah sebutkan bahwa yang pertama kali diletakkan oleh Rasulullah saw dalam membangun individu umat dan pembentukan masyarakat Islam adalah pengokohan akidah Islam dalam sanubari umat dan yang menjadi pengarah utama pada ideologi, suluk, prilaku dan perbuatan mereka. Maka tidak diragukan lagi bagi pondasi ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan suatu masyarakat disepanjang masa dan setiap tempat.
Karena ketika pondasi ini telah merasuk dalam jiwa setiap individu msayarakat dan dibentangkan manhaj-manhaj yang harus dijalaninya, serta syariat yang memberikan jaminan terhadap jiwa, kehormatan dan harta mereka. Memberikan batasan terhadap ibadah, pemahaman dan syiar-syiar mereka dibawah satu naungan yaitu Al-Quran yang datang dari yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji, dan sunnah Nabi sebagai penjelas dari hukum-hukum dan syariat yang dibawa oleh Al-Quran.
Dan masyarakat yang dibangun diatas pondasi-pondasi ini dan menyatu dalam setiap individunya akidah yang bersih maka disebut dengan masyarakat rabbani yang selalu menjadi jalan Allah yang telah diambil oleh Rasulullah saw dan manhajnya sebagai tauladan dan cerminan dalam perjalanan hidupnya demi menggapai ridho Allah.
Komunitas muslim pada masa awal masa nabi dan sahabatnya merupakan komunitas masyarakat percontohan dan tauladan yang baik, karena mereka dibangun diatas pondasi yang rabbani yang diimplementasikan dalam akidah Islam dan diaktualisasikan dalam segala aspek kehidupan; baik sosial, ekonomi, politik, mu’amalah dan lain sebagainya. Para ulama menganggap mereka sebagai “Penunggang Kuda disiang hari dan ahli ibadah dimalam harinya”, karena mereka menjadikan siang untuk mencari nafkah dan menyebarkan dakwah Islam demi mencari ridha Allah, dan menjadikan malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, beribadah dan membaca Al-Quran, shalat sunnah, bersimpuh ditengah malam dengan penuh perasaan lemah dan butuh dihadapan yang Maha Kuasa.
Karena itu diantara karakteristik komunitas Islam adalah mujtama rabbani yaitu komunitas yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar dan pondasi utama dalam pembangunan dan pendiriannya, menjadikan syariat sebagai manhaj hidupnya. Jadi jika masyrakat kontemporer ingin membentuk masyarakat yang islami dan menjadi taudalan bagi masyarakat lainnya, maka hendaknya mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan dipraktekkan oleh para sahabatnya.
2.       Berperadaban
Sesungguhnya ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah saw adalah motivasi kepada umatnya untuk belajar dan membaca serta menelaah dari beberapa kejadian alam. Karena Islam pada hakekatnya telah memberikan kesadaran kepada umatnya untuk belajar dan menjadikan akal sebagai kunci menyelesaikan berbagai masalah, menjadikan ilmu sebagai jalan untuk memahami sisi-sisi kehidupan dan sarana membangun peradaban dan kemajuan jaman dan bahkan untuk membimbing umat kejalan yang lurus dan jalan kebenaran.
Karena itu jelas sudah bahwa Islam adalah risalah yang membawa pada pembangunan dan kemuliaan, kekuatan dan kharisma, membawa pada peradaban dan kemajuan. Dimana, suatu peradaban tidaklah akan maju kecuali dengan ilmu dan akal, sementara mundurnya suatu umat dan terancam pada kebangkrutan dan kehancuran karena kejahilan dan mendisposisikan kekuatan akal.
Karena itu Islam dan Al-Quran merupakan pintu revolusi dan pencerah ilmu dan pengetahuan, penggamblangan secara nyata yang mengajak untuk memfungsikan akal dan ideology, kehidupan untuk beramal dan berbuat, dan pengekplorasian sumber daya alam.Dengan demikian Islam selalu menekankan untuk menuntut ilmu dan memfungsikan akalnya dan mengajaknya dengan seruan yang nyata, karena ilmu dan akal merupakan perangkat dan sarana untuk mencipta dan berkarya, dengannya kehidupan manusia menjadi maju hingga pada titik peradaban yang pasti.
Dan tidak cukup hanya disini, Islam juga mewajibkan kepada umat untuk menuntut ilmu yang tidak kalah dengan kewajiban lainnya, sebagaimana ilmu dijadikan sebagai tolok ukur yang utama diterimanya keimanan seseorang, karena Allah dalam banyak ayat-ayat-Nya sangat mencela taqlid dalam akidah dan tidak boleh, taklid diwariskan dalam masalah keyakinan.
Sebagaiman ilmu yang diperintahkan Islam untuk dipelajari tidak hanya sebatas pada bidang keagamaan saja, tapi mencakup berbagai bidang keilmuan; baik perundang-undangan, perdagangan, adab (sastra), matematika, kimia, fisika, ilmu-ilmu terapan dalam bidang perdagangan, industri dan pertanian, penggunaan teknologi, sarana pengembang biakan, produksi dan impor, semua itu merupakan fardlu kifayah bagi setiap umat agar dapat mencapai kemajuan baik internal maupun external.
Komunitas muslim adalah komunitas yang berperadaban, yang memandang ilmu sebagai sarana memakmurkan bumi dan jalan menuju kemajuan, sebagaimana juga ilmu menjadi sarana pembersih jiwa yaitu dengan menyatukan antara ilmu duniawi dan ukhrawi, antara materi dan ruh, antara fenomena kehidupan dunia dan akhirat.
Mereka memandang bahwa berbagai ciri khusus sosial, agama, akhlak, tekhnologi dan seni yang terbentang dibelahan dunia bukanlah satu-satunya jalan menuju kemajuan peradaban dunia belaka namun juga sebagai sarana peningkatan kehidupan individu dan kesuciannya, jalan untuk berta’ammul dan tafakkur terhadap berbagai kenikmatan yang telah Allah anugrahkan kepada mereka; baik yang hissiyah atau ma’nawiyyah, yang tampak atau yang tidak tampak, sehingga dirasakan akan ke-Esaan dan ke-Kuasaan Allah.
 Disaat peradaban Barat hanya menggantungkan kemajuan mereka pada materi saja, Islam sangat memperhatikan ruh dan meteri, ideologi yang membangun dan baik, akhlak yang baik dan mulia, akidah yang bersih, dan tidak mengenyampingkan satu sisi terhadap sisi yang lainnya, sehingga perjalanan hidup manusia menuju peradaban tidak sia-sia namun mampu lestari dan kontinyu demi kebaikan umat manusia secara keseluruhan.
  Dan diantara keistimewaan peradaban Islam adalah tidak mengenal akan adanya malas dan tertutup, fanatik, ras dan suku, namun peradaban yang terbuka untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya, sebagimana Allah berfirman dalam menjelaskan tugas Rasulullah saw :QS. AL-Anbiya:107
Artinya : “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
3.         Mutawazin (Seimbang)
Jika al-hadlarah yang dibangun Islam tegak diatas kesadaran fitrah antara materi dan ruh, dan ikatan yang erat antara bumi dan langit, antara perbaikan jasmani dan rohani, dan penyatuan tujuan antara kehidupan dunia dan akhirat, maka disitulah letak keseimbangan antara berbagai perkara kehidupan dunia.
Islam pada dasarnya memiliki ciri khas tersendiri dan memiliki tonggak yang kuat yaitu keseimbangan, keseimbangan dalam arahan-arahannya, yang dilestarikan dalam berbagai tekanan dari berbagai arah, tidak berlebih-lebihan, dan mengalami bentrokan dengan yang lainnya.
Dari sini umat Islam juga dikenal dengan umat yang seimbang, yaitu umat yang tidak mengenal akan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah atau berlebihan dalam berbuat untuk memakmurkan bumi. Tidak memandang materi hanya untuk kesenangan duniawi saja, tapi juga untuk memakmurkan dunia dan peradabannya, membersihkan diri dari kotoran dan penindasan, melalui pembersihan hati setiap individu dari pandangan sebelah mata terhadap kehidupan dunia. Al-Quran telah memperingatkan kepada manusia untuk tidak melupakan kehidupan dunia dalam rangka mencari kebahagiaan di akhirat, sebagaimana firman Allah:QS. AL-Qashash:77
Artinya:“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Dan QS.At-Taubah:105
Artinya: Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
4.       Tidak apartheid
Masyarakat Islam juga dibangun atas dasar agama dalam segala aspeknya, baik dalam pandangannya, geraknya, tujuan dan misinya, masyarakat yang tidak mengenal perbedaan ras atau suku, tidak terbatas hanya pada satu negara tertentu dan warna kulit, tapi merupakan masyarakat yang luas yang hanya bersumber pada satu titik perbedaan yaitu taqwa dan iman kepada Allah SWT.
Masyarakat Islam adalah komunitas yang bebas dan terbuka, yang dapat dimiliki oleh individu, kelompok dan bangsa sekalipun, semuanya bisa masuk dan bergabung didalamnya tanpa harus ada rekomendasi/izin, ikatan dan syarat terntentu, tidak ada batas dalam jenis kelamin, warna kulit, bahasa dan batas territorial”.
Manusia dalam pandangan Al-Quran adalah sama, tidak ada perbedaan darah, keturunan, ras dan bahasa kecuali taqwa dan amal salih, seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya : QS.Al-Hujurat : 13
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Sesungguhnya hasil utama dari dasar Islam dalam persoalan ini, yaitu persoalan membentuk organisasi berdasarkan akidah, tidak berdasarkan perkauman, negeri, warna kulit, bahasa, dan kepentingan daerah dan, dan persoalannya ialah menonjolkan ciri “kemanusiaan manusia” melalui organisasi itu, bukan menonjolkan ciri-ciri yang menjadi sifat persamaan di antara manusia dengan hewan.
Hasil utamanya ialah bahwa masyarakat Muslim itu menjadi sebuah masyarakat terbuka untuk semua bangsa, semua golongan, semua warna kulit, semua bahasa apa pun lalu segala ciri dan kemampuan manusia itu bercampur dan menyatu dalam wadah masyarakat Islam. Dari situlah lahir suatu lembaga raksaksa dalam jangka waktu yang tidak lama, untuk menempa suatu peradaban yang indah dan mengagumkan yang menjangkau seluruh intisari kemampuan manusia di zamannya sekalipun jarak antara daerah-daerah dan rumpun-rumpun bangsa sangat berjauhan antara satu sama lain. Suatu peradaban yang tidak ada tolok ukurnya, sekalipun di zaman itu hubungan antara daerah dengan daerah sangat sukar dan keadaannya masih primitif.
Di dalam masyarakat Islam yang tiada tolok ukurnya itu, telah berkumpul bangsa Arab, Persia, Syam, Moroko, Mesir, Turkey, China, Roman, Yunani, India, Indonesia, dan juga orang Afrika, malah seluruh bangsa di dunia ini. Mereka bersatu padu dan bekerjasama dengan eratnya dalam membina masyarakat dan peradaban Islam. Peradaban yang agung, yang tidak pernah sekalipun menjadi peradaban yang dimiliki oleh orang Arab saja, bahkan ia menjadi peradaban Islam, juga tidak menjadi masyarakat kebangsaan dan perkauman, bahkan menjadi masyarakat yang berlandaskan akidah.
Mereka semuanya berkumpul berdasarkan hubungan persamaan, hubungan kasih mesra dan persaudaraan, dengan memandang jauh ke depan, ke arah satu tujuan. Mereka memberi apa saja yang dapat mereka berikan, tanpa menghilangkan ciri-ciri kebangsaan mereka. Mereka sumbangkan tenaga dan pengalaman peribadi untuk membina masyarakat yang satu berdasarkan persamaan hak, dipadukan oleh tali Allah, yang menonjolkan kemanusiaan mereka.
Masyarakat seperti ini tidak pernah tampil sebelum ini di sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat manusia yang paling masyhur sebutannya di zaman purbakala ialah masyarakat Kekaisaran Romawi yang telah mengumpulkan bermacam-macam jenis manusia, dari segala bangsa dan warna kulit dan bahasa pertuturan. Tetapi masyarakat itu tidak berdasarkan “tali kemanusiaan” dan tidak juga berpandukan sesuatu nilai yang tinggi berbentuk akidah, karena di sana terdapat perkumpulan berdasarkan perbedaan derajat, kasta dan kelas.
Yaitu kelas bangsawan dan kelas hamba sahaya, di seluruh kawasan jajahan kekaisaran itu juga kelas berdasarkan kesucian dan keagungan darah Romawi di satu pihak dan kehinaan darah bukan Romawi di pihak yang lain. Karena itulah masyarakat itu tidak layak disetarakan dengan masyarakat Islam dan tidak dapat menghasilkan kejayaan seperti yang dicapai oleh masyarakat Islam.
Di zaman modern ini pun beberapa bentuk masyarakat telah berdiri dan telah runtuh. Sebagai contoh, kita ambil masyarakat Kekaisaran Inggris (Britain), tapi bentuknya tak beda dengan bentuk kekaisaran Romawi yang diikutinya dahulu itu, yang bertujuan memeras dan menindas, telah tegak berdasarkan ketuhanan bangsa Inggris dan memeras serta menindas rakyat jajahannya demikianlah juga halnya seluruh kekaisaran Eropa lainnya: kekaisaran Spanyol dan Portugis suatu ketika dahulu, dan juga empayar Perancis, semuanya itu sama sahja taraf dan nilainya, yang memang semuanya berdasarkan pemerasan dan penindasan.
Komunisme berhasrat mendirikan perkumpulan dan masyarakat manusia bermodel lain, yang melampaui unsur-unsur kebangsaan dan wama kulit, tanah air dan bangsa, tapi tidak dibangun berdasarkan kemanusiaan, bahkan berlandaskan pertentangan kelas. Yang demikian, maka masyarakat ciptaan komunisme itu merupakan masyarakat yang setara dengan masyarakat ciptaan Romawi yang satu berdasarkan tingkatan kaum bangsawan (tuan) dan hamba tapi yang satu lagi ini berdasarkan kekuasaan golongan melarat tertindas (proletaria) dan kaum menengah (borjuis) dan ciri emosi yang membakar semangat masyarakat komunis dan kaum proletariat itu ialah kebencian dan kedengkian terhadap seluruh kelas dan golongan lain.
Masyarakat seburuk ini tidak akan menelurkan hasil apa-apa kecuali mencetuskan gejala-gejala yang paling buruk di dalam sejarah umat manusia karena dari asal kelahirannya, ia menonjolkan ciri-ciri dan sifat hewan dengan beranggapan bahwa keperluan-keperluan asasi bagi manusia itu ialah makan, minum, rumah tangga dan seks, yang semuanya ini adalah tuntutan dan keperluan asasi hewan, dengan anggapan bahwa sejarah umat manusia ini dimulai dengan sejarah mencari makan.
Di antara keindahan Islam panduan Ilahi dengan cara menonjolkan sifat dan ciri-ciri khusus manusia dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang begitu tinggi di dalam membentuk masyarakat manusia. Dan sudah pasti Islam akan terus kokoh di dalam hal ini dan siapa saja yang mencoba menyeleweng ke arah panduan yang lain, menegakkan suatu jalan yang lain, apakah jalan kebangsaan, wama kulit, tempat kelahiran dan kelas, atau jalan-jalan lain yang rendah dan hina, maka orang itu adalah musuh manusia yang jelas.
Orang seperti itu ialah orang yang tidak menginginkan manusia berdiri sendiri dengan ciri-ciri dan sifat-sifat khusus ketika dia mula-mula diciptakan Tuhan. Orang itu ialah orang yang tak menginginkan masyarakatnya memenuhi kebutuhan asasinya dengan lengkap sempurna. Mereka itu orang yang menjadi sasaran firman Allah SWT: (Al Kahfi: 103-106)
Artinya: “Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”(103). “Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (104). “Mereka itu orang-orang yang Telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat” (105). “Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok” (106).
Maksudnya: "Katakanlah maukah aku beritahu kepada kamu tentang orang yang paling rugi perbuatan-perbuatan mereka, orang-orang yang sia-sia amal perbuatan mereka di dalam hidup dunia ini sedangkan mereka itu menyangka bahwa mereka sebenarnya berbuat baik. Mereka itu ialah orang-orang yang kufur dan tidak bersyukur dan tidak percaya dengan perintah Tuhan mereka dan tidak percaya bahwa mereka akan menghadap Tuhan mereka itu lalu pekerjaan mereka pun menjadi hampa dan Kami tidak berikan pertimbangan dan penilaian apa pun kepada mereka di hari kiamat. Balasan mereka ialah neraka Jahannam karena kekufuran mereka dan karena mereka memperolok-olokkan perintah-perintahKu dan juga rasul-rasul utusanKu"(Al Kahfi: 103-106).Maha Benarlah Allah Yang Maha Agung.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, A. Ilyas, Pilar-Pilar Takwa: Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan Spiritual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut: Dar al-fikr, 1992.

 
[1]. Lihat “Malamih Al-mujtama’ al-ladzi nunsiduhu” hal. 9.
[2]. Ma’alim fi at-thoriq. Hal. 44, 55.
[3]. Malamih mujtam Al-muslim, hal. 23-24
[4]. Ma’alim fi at-thoriq. Hal. 56
[5]. Ma’alim fi at-thoriq. Hal. 56-57
[6]. Ma’alim fi at-thoriq, hal. 92
[7]. Abi Nadroh adalah An-Nadr bin Malik bin Qit’ah al-abdi Al-Auqi, seoran gulama tabiin, berasal dari negeri basroh, wafat pada tahun 108 H.
[8]. Nahwa Mujtama islami, Hal. 100
[9]. Ma’alim fi at-thariq, Hal. 34
[10]. Al-Adalah al-ijtimaiyyah, Sayyid Qutb, Hal. 20, Dar el-Syuruq th. 1410 H/1995 M
[11]. Dirasat Quraniyyah, hal. 266
[12]. Nahwa mujtama Islam, hal. 64-65
[13]. Al-Maududi adalah seorang penulis dan ulama kontemporer yang berasal dari Pkistan, beliau adalah rector pada universitas Islam di Pakistan, baliau memiliki banyak karya tulis dengan berbahasa arab seperti tafsir surat an-nur, nahnu wal hadloroh all-gorbiyyah dan lain-lainnya.
[14]. Al-Usus Al-akhlakiyyah lilharakah al-islamiyyah, Abul a’al Al-Maududi, hal. 73-75, maktabah al-quds, th. 1993, Kurdasah, jizah.
[15]. Al-Quran Al-Karim bsniyyatuhu at-tasyri’iyyah wa khasaisuhu al-hadlariyyah, hal. 71
[16]. Lihat marja’ sebelumnya, hal. 73
[17]. Lihat “Khasais at-tashawwur al-islami wa muqawwimatuhu, Sayyid Qutb, hal. 119-120, dar el s






[1] A. Ilyas Ismail, Pilar-Pilar Takwa:Doktrin, Pemikiran ,Hikmat, dan Pencerahan Spiritual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 3.
[2] Ibnu Katsir,Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dar al-fikr,1992), jilid 2, hlm 523.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar