Kamis, 10 Maret 2011

Tasawuf dan Ruang Lingkupnya

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang menghubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Menyebutkan ada lima istilah :
1.    Shafa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Sebab kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama shalat dan puasa.
2.    Shaf (baris). Yang dimaksud shaf disini ialah baris pertama dalam shalat di masjid. Shaf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid dan banyak membaca ayat suci Al-Qur’an dan berdzikir sebelum waktu shalat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.    Ahl al-Shuffah, yaitu para sahabat yang hijarah bersama nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di masjid nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai shuffah, (pelana) sebagai bantal sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik baik dan mulya dan tidak mementingkan dunia.
4.    Sophos (bahasa Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam yang berarti hikmat), dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.
5.    Suf (kain wol). Dalam dunia tasawuf kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan barang mewah yang bisa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai kata asal sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang pertama memakai kata sufi adalah Abu Hasyim AL-Kufi di Irak (w.150 H).
Dalam pengertian ini, tasawuf adalah usaha menaklukan dimensi jasmani manusia agar tunduk kepada dimensi rohani (nafs), dengan berbagai cara sekaligus bergerak menuju kesempurnaan akhlak seperti dinyatakan kaum sufi dan meraih pengetahuan atau makrifat (ma’rifah) tentang zat Ilahi dan kesempurnaan-Nya.[1] Menurut kaum sufi, proses ini disebut sebagai “mengetahui hakikat” (ma’rifah al-haqiqah). Adapun pengertian lain dari tasawuf adalah bertekun ibadah dan memutuskan hubungan dengan segala sesuatu, hanya menghadap Allah semata.[2] Menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang menipu orang banyak, kelezatan harta benda dan kemegahan.
Dari segi kebahasaan (linguistic) terdapat sejumlah kata atau istilah yang di hubungkan orang dengan tasawuf. Selain pengertian tasawuf juga dapat dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan.maka dari itu, tasawuf atau sufisme adalah salah satu jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al-Qur’an.
1.        Pembagian Tasawuf Pertama
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan terpuji, dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan.
a.    Tasawuf Falsafi
Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya.
b.   Tasawuf Akhlaqi
Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.
c.    Tasawuf Amal
Pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya disebut sebagai tarekat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falssafi, akhlaki maupun amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, dan bukan karena terpaksa.
Harun Nasution mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Dalam tasawuf masalah ibadah sangat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah yang selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah. Hal itu dalam istilah sufi disebut dengan al-Takhallu bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-Ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
2.        Pembagian Tasawuf yang Kedua
Sesungguhnya pembagian tasawuf yang kedua ini tidak jauh beda dengan yang pertama, akan tetapi sedikit perbedaan pendapat dan nama yang yang terjadi didalamnya.
a.    Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1.         Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2.         Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3.         Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Dalam hal ini, dengan demikian tampaklah beberapa sifat bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit [3].
Kriteria–kriteria yang mengarah pada pengertian tentang jiwa/mental yang sehat dan sakitnya jiwa. Kriteria-kriteria tersebut adalah :
a.    Kriteria Jiwa Yang Sehat
1.    Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin .Aspek perilaku yang harus ditampilkan .
Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta.
2.    Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat.
Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin.
3.    Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga hal yaitu:
a.         Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya.
b.         Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari   perbuatan maksiat baik lahir maupun batin
c.         Menanggung penderitaan ketika tertimpa sesuatu bencana di dunia dan tak mengeluh.
Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah.
Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan.
4.     Tawakal
Ia mengartikan tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram.
5.    Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguh-sungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi. larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati.16
6.    Ridha
Mengartikan ridha dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya.
Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan .
7.    Syukur
Menjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah, cara bersyukur.

8.    Ikhlas
Ikhlas menurut adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih.
b.    Kriteria jiwa yang sakit
1.    Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Menurutnya hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia.
2.    Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.
3.    Ujub
'Ujub artinya mengherankan dalam batin adapun makna istilah penjelasannya yaitu memastikan kesentosaan badan dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat.
Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
4.    Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah.
5.    Takabur
Pengertian takabur  adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
6.    Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya.
7.     Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada orang lain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya.
b.    Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.
Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.
c.    Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.


[1] Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Penerjemah Ija Suntana dan E.Kusdian, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 19-20.
[2] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 16.
[3] Joko Triharyanto, Intelektualisme Tasawuf, (Lembkota: Semarang, 2002), h. 45-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar