Kamis, 10 Maret 2011

Sulhu Hudaiyibiyyah


SULHU HUDAIBIYAH  DAN PROBLEMATIKA DAKWAH

A.          Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, tercatat berbagai problematika kehidupan, baik dalam kehidupan sosial, politik, maupun persoalan-persoalan lainnya. Nabi Muhammad  merupakan sosok seorang Nabi serta Rasul sekaligus pemimpin negara yang menghadapi berbagai macam konflik kehidupan. Dalam menghadapi semua problematika yang ada ditengah-tengah umatnya, Nabi dengan berbagai strategi dan metodenya mampu menyelesaikan dengan baik.
Menurut sejarah riwayat Islam, Ka’bah di Makkah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail. Mereka menjadikannya sebagai pusat spiritual bagi kaum monoteis (orang-orang yang bertauhid). Sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam surat Al-Hajj ayat 26 :
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim ditempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.

 Dan sebagaimana pula yang diperintahkan pula dalam surat Al-Hajj ayat 27:

Artinya: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, unta yang kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
Menurut kedua firman Allah tersebut, menjadi landasan atas perintah menunaikan ibadah haji dan umrah sebagai wujud keimanan kepada ajaran Islam.
Sudah sejak tahun pertama Hijriah, Nabi Muhammad telah mengubah kiblatnya dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah.
Akan tetapi sejak Muhammad dan kaum Muslimin sudah hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki masjid suci itu, melarang mereka mendekatinya di luar golongan Arab lainnya.
Dalam hal ini firman Allah dalam surat Al-Baqarah:217
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Ka’bah merupakan tempat suci yang membawa keberkahan serta menjadi kiblat dalam peribadatan umat muslim menjadi urgensitas bagi umat muslim, namun proses haji dan umrah saat ini, merupakan perjuangan Nabi dimasa lalu yang terkenal dengan peristiwa “Perjanjian Hudaibiyah”

B.           Seputar Perjanjian Hudaibiyah
1.    Definisi Perjanjian Hudaibiyah
                    Kata perdamaian merupakan ungkapan yang sudah umum dikenal oleh masyarakat, jika dalam literatur fiqih di perkenalkan istilah al-shulh. Didalamnya terkandung pengertian bahwa shulh itu adalah sejenis akad untuk mengakhiri suatu perselisihan, atau suatu kesepakatan untuk menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.[1]
Kata sulh merupakan istilah denotif yang sangat umum. Istilah ini bisa berkonotasi perdamaian dalam lapangan kehartabendaan, perdamaian dalam lapangan khusumat dan permusuhan, perdamaian dalam urusan rumah tangga, perdamaian antara sesama muslim, perdamaian antara sesama muslim dan non muslim, dan sebagainya. Agama Islam secara jelas mengungkapkan bahwa perdamaian adalah suatu perbuatan terpuji. Sebagaimana terdapat dalam an-Nisa ayat 128:

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dan  sebagaimana pula pada surat al-Hujurat ayat 9:

Artinya:  Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Perjanjian Hudaibiyah adalah persetujuan antara kaum muslimin dan musyrikin Mekkah pada bulan Zulkaidah 6/Maret 628 di lembah hudaibiyah tanah haram (Makkah). Jadi, jelas perjanjian ini lebih tua ketimbang perjanjian Magna Charta yang dibuat tahun 1215 Masehi yang selama ini dianggap dokumen hukum tertua di dunia. Perjanjian ini lahir mengiringi periode awal syariat ibadah Haji yang diturunkan kepada Rasulullah SAW pada tahun ke-5 H. Ketika perintah ini turun, Rasulullah dan para sahabat berada pada posisi sulit, karena seluruh prosesi pelaksanaan ibadah Haji bertempat di Makkah sedangkan pada saat itu Makkah dikuasai oleh kaum kafir Quraisy.[2]

2.    Sejarah Singkat Perjanjian Hudaibiyah
Adapun sejarahnya bermula, Pada suatu malam Rasulullah saw mimpi masuk ke dalam kota Makkah dalam keadaan mencukur rambut dan bertawaf mengitari Baitullah al-Haram, Ka’bah, tanpa kejelasan mengenai waktu, bulan atau tahunnya.[3] Betapa besar kegembiraan para sahabat ketika beliau memberitahukan mimpinya itu kepada mereka. Lama sudah mereka tidak pernah berziarah ke Ka’bah, tempat suci yang mereka muliakan secara turun-temurun.
Keislaman mereka justru menambah rasa keterikatan hati dan kerinduan mereka kepada pusaka agung peninggalan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. Mereka berkeinginan untuk dapat bertawaf sebagaimana yang telah biasa mereka lakukan di masa-masa lalu. Dalam hal itu, kaum Muhajirinlah yang paling merindukan Makkah, kampung halaman tercinta.
Ketika Rasulullah saw memberitahukan mimpinya kepada mereka, mereka tidak meragukan bahwa mimpi beliau pasti akan menjadi kenyataan dalam tahun itu juga. Penta’wilan seperti itu terpadu dengan hasrat serta keinginan mereka yang demikian besar sehingga membangkitkan kerinduan yang terpendam. Itulah antara lain yang menggairahkan mereka untuk bersiap-siap berangkat ke Makkah bersama Rasulullah SAW, mematahkan rintangan kaum Musyrikin Quraisy.
Hampir semua kaum Muhajirin turut serta berangkat ke Makkah, kecuali beberapa orang yang berhalangan. Maka setelah dilakukan perundingan dengan para sahabat, dalam bulan Dzulqi’dah tahun ke-6 Hijriah Rasulullah SAW bersama rombongan muslimin sekitar 1400 orang berangkat ke Makkah dengan maksud menunaikan ibadah umrah, tidak hendak berperang.
Untuk mendapat kepercayaan kaum kafir Quraisy bahwa kedatangan Rasulullah dan kaum Muslimin adalah murni untuk melakukan ibadah umrah maka Rasulullah memerintahkan beberapa hal, pertama agar perjalanan dilakukan melalui rute yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum kafir Quraisy, kedua Rasulullah memerintahkan agar hewan hadyu untuk pelaksanaan ibadah umrah ditandai agar tidak disangka sebagai kendaraan perang dan juga kaum Muslimin diperintahkan untuk melakukan perjalanan dengan pedang disarungkan untuk memperlihatkan bahwa perjalanan dilakukan bukan bermaksud untuk melakukan penyerangan.
Berita tentang keberangkatan rombongan Nabi ini terdengar oleh orang-orang Musyrik Mekkah. Mereka pun menyiapkan satu pasukan tentara  dengan pasukan berkuda sebanyak 200 orang. Pasukan ini di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jahal. Pasukan ini bergerak menyongsong kedatangan rombongan Nabi Muhammad, dan mereka berkemah di Dzu Thuwa.
Dari Dzul Hulaifah rombongan Nabi bergerak terus menuju Mekkah. Tetapi sesampainya di ‘Usfan, rombongan ini bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’ab. Nabi bertanya kalau-kalau ia mengetahui berita sekitar orang-orang Quraisy. Orang tersebut menjelaskan : “Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini. Lalu mereka berangkat dengan menekan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dzu Thuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kiral Ghanim.”[4]
Nabi mempertimbangkan, bila mereka terus melakukan perjalanan dan bertemu dengan pasukan Quraisy tersebut, tentulah akan terjadi pertumpahan darah. Padahal sejak awal beliau sudah memutuskan bahwa tidak akan ada darah yang tetumpah. Mereka bermaksud memasuki Mekkah dengan damai, aman dan tenteram. Dalam suasana seperti itu, dari kejauhan sayup-sayup terlihat kepulan debu dari pasukan Musyrik Makkah tersebut. Nabi kemudian berseru kepada anggota rombongannya, siapa diantara mereka yang mengetahui jalan lain untuk mencapai Mekkah. Mendengar itu seseorang maju ke depan yang mengetahui jalan lain menuju Mekkah tersebut.
Namun jalannya berliku-liku dan sangat sulit dilalui. Nabi menyetujui hal itu, lalu memerintahkan rombongan untuk menmepuh jalan tersebut. Akhirnya mereka sampai ke satu tempat bernama Thaniat al-Murar, jalur menuju ke Hudaybiyah yang terdapat di sebelah bawah kota Mekkah. Ternyata kawasan tersebut sangat kerontang, tiada satupun sumber mata air. Mndengar itu Rasulullah mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikan kepada seseorang anggota rombongan kemudian dibawa ke salah satu sumur yang terdapat di kawasan itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir pada salah satu sumur tetsrebut airpun memancar.[5]
Kaum  Quraisy, walaupun begitu tetap menyiagakan pasukannya untuk menahan Rasulullah dan para sahabat agar tidak masuk kota Makkah. Pada waktu itu, bangsa Arab bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Pada awalnya beliau mengutus Umar Ibnul-Khattab, namun sekali lagi Nabi Muhammad mencoba mengirim utusan. Pertama sekali maksud tersebut dibebankan kepada Umar bin Khattab. Tetapi Umar menolak dengan mengatakan :” Rasulullah, saya kahawatir Quraisy akan mengadakan tindakan kepada saya, mengingat di Mekkah tidak ada pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih dalam hal ini dari pada saya, yakni Usman bin ‘Affan.”.
Usman pun dipanggil oleh Nabi untuk melaksanakan tugas sebagai utusan kepada pihak Quraisy. Pertama sekali ia diperintahkan untuk bertemu dengan Abu Sufyan. Dan ketika Usman sudah bertemu dengan mereka, ia diperintahkan untuk mengehentikan keinginan untuk masuk Mekkah. Kalau ia sendiri mau thawaf silakan thawaf. Tetapi Usman menampik bujukan tersebut. Dia baru mau thawaf kalau Nabi juga dan beserta rombongan dapat pula thawaf bersama sama.
Perundingan antara Utsman bin ‘Affan dan para pemimpin Quraisy memakan waktu agak lama, sehingga tersiar kabar di kalangan kaum Muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Tiada pilihan lain bagi mereka kecuali menuntut balas, sambil berdiri di sebatang pohon beliau mengumpulkan semua sahabatnya untuk membulatkan tekad dan bersiap-siap menghadapi kaum musyrikin Quraisy.
Mereka mengikrarkan sumpah setia akan tetap membela Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga. Peristiwa tersebut dalam sejarah Islam terkenal dengan nama “Bai’atur-Ridhwan, yaitu : Pernyataan janji setia yang diridhoi Allah, yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an. Peristiwa bai’at, yang berlangsung di bawah pohon Samrah, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Salmah bin Akwa’, menjadi asbab nuzulnya  firman Allah : QS. Al-Fath:18.[6]

Artinya:“Sungguhlah bahwa Allah telah meridhoi orang-orang yang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu (hai Muhammad) di bawah pohon. Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, kemudian menurunkan ketegangan bagi mereka serta membalas (kesetiaan) mereka itu dengan kemenangan dalam waktu dekat” QS. Al-Fath : 18).

Utsman melaporkan kepada Rasulullah SAW bahwa orang-orang Makkah sudah dapat diyakinkan akan kedatangan beliau bersama kaum muslimin ke Makkah yang tidak bertujuan hendak berperang. Pada dasarnya mereka tidak melarang siapa saja yang datang ke Makkah untuk ber’umrah, akan tetapi mereka sudah terlanjur menyiapkan pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid untuk mencegah kaum muslimin masuk ke Makkah.
Mereka kemudian balik mengirim utusan untuk memastikan maksud kedatangan Rasulullah beserta kaum Muslimin ke kota Makkah dengan menanyakannya langsung kepada Nabi. Dalam keadaan seperti itu datanglah seorang dari Makkah bernama Badil bin Warqa Al-Khuza’iy bersama beberapa orang dari Kabilah Khuza’ah, menemui Rasulullah SAW di Hudaibiyyah. Kepada beliau ia bertanya apa sesungguhnya maksud kedatangan beliau ke Makkah, Beliau menjawab : “Kami datang tidak bermaksud berperang, tetapi hendak berumrah. Orang-orang Quraisy sekarang dalam keadaan lemah akibat penderitaan mereka dalam peperangan. Kalau mereka mau, aku bersedia memberi kesempatan mereka untuk berfikir, tetapi mereka harus membiarkan aku berda’wah. Kalau mereka mau memeluk agama Islam seperti yang sudah dilakukan orang-orang lain, baiklah ; kalau tidak mau hendaklah mereka diam.
Laporan tersebut tidak disenangi oleh orang-orang Musyrik Quraisy. Mereka menganggap Muhammad dan rombongannya datang dengan kekerasan dan bermaksud untuk berperang.  Untuk kesekian kalinya diutus lagi perutusan lain menemui Muhammad dan rombongan, dan pilihan jatuh kepada Hulais, dari suku Ahabisy. Hulais pun datang menemui rombongan Nabi.
Tatkala Nabi melihat Hulais datang, beliau menyuruh lepaskan hewan qurban dilepaskan sehingga terlihat dengan jelas di depan mata Hulais. Hal ini dapat menjadi bukti hidup tentang maksud kedatangan Nabi dengan rombongan tersebut sungguh datang hendak berziarah ke rumah suci, bukanlah untuk berperang. Melihat kenyataan tersebut, Hulais pun segera kembali kepada kaumnya tanpa menemui Nabi. Ia ceritakan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya.
Mereka sangat mematuhi perintah Nabi, inilah yang diceritakan Hulais kepada pihak Quraisy. Sama dengan penuturan sebelumnya, Hualispun dimarahi oleh pihak Quraisy. Menerima perlakuan seperti itu Hulaispun naik pitam pula, bahkan mengancam akan meninggalkan persekutuan kaum Ahabisy dengan kaum Quraisy. Namun ia dibujuk kembali oleh pihak Quraisy untuk tetap bergabung dengan mereka.
Selanjutnya pihak Quraisy mengutus ‘Urwah bin Mas’ud, yang dipandang sebagai pribadi yang tenang dan penuh bijaksana. Pada awalnya ‘Urwah menolak, sebab telah menyaksikan sekian orang utusan yang diperlakukan dengan kasar oleh orang-orang Quraisy sendiri, karena membawa berita yang tidak sesuai dengan yang mereka citrakan sendiri tentang Muhammad dan rombongannya. Namun ‘Urwah diyakinkan bahwa kondisi tidak akan terulang lagi.
Urwah pun berangkat menemui Nabi. Setelah mendapat penjelasan yang panjang lebar dari Nabi sendiri, akhirnya ia kembali ke pihak Quraisy. Iapun bercerita apa adanya tentang apa ia rasakan setelah bertemu Nabi : “Saudara-saudara, saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakuatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudhu, sahabt-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka tidak akan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik.”
Terpikir oleh Nabi mengutus utusan juga kepada pihak Quraisy. Namun utusan ini hendak dibunuh oleh pihak Quraisy, tetapi cepat-cepat dicegah oleh kaum Ahabisy. Di samping itu sebanyak empat puluh atau lima puluh orang pada suatu malam mengendap-ngendap mendekati kemah Nabi dan melempari kemah itu dengan batu. Tetapi mereka tertangkap. Namun mereka di maafkan oleh Nabi dan dikembalikan kepada kaumnya. Lagi-lagi hal ini merupakan pukulan pisikologis bagi pihak Quraisy, bahwa Nabi dan rombongan sebenarnya ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci. Jangan ada pertumpahan darah di Hudaybiyah yang juga bahagian dari tanah suci Mekkah.
Penegasan tersebut diterima oleh orang-orang Quraisy. Namun mereka sudah terlanjur diketahui oleh suku-suku lainnya, telah menyiapkan angkatan perang untuk menghadang Muhammad dan rombongan, agar tidak masuk ke Mekkah. Oleh sebab itu, bila Muhammad dan rombongan tetap masuk Mekkah, tentulah mereka akan kehilangan muka di hadapan suku-suku Arab lainnya. Untuk diharapkan agar Muhammad dan rombongan mengurungkan niatnya untuk berziarah pada tahun ini dan kembali ke Madinah. Berdasarkan pemahaman seperti itu, akan diteruskan perundingan untuk mencapa kesepakatan yang terbaik.
Pihak Quraisy mengutus Suhail bin ‘Amr, dengan misi yang tertuang dalam pesan berikut : “Datangilah Muhammad dan adakanlah persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”
Agar perintah Allah SWT untuk melakukan ibadah umrah dapat tetap dilaksanakan, maka Rasulullah menawarkan perjanjian kepada kaum Quraisy. Dua pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian itu adalah Nabi Muhammad SAW dengan Suhail Bin Amr dan Ali bin Abi Thalib selaku pencatat. Suhail bin Amr adalah seorang tokoh suku Quraish. Seorang pemuda yang cerdas dan jelas ideologi kekafirannya yang merepresentasikan dan mengakomodir kepentingan kaum kafir. Tak heran kalau ia dijadikan delegasi pada perjanjian hudaibiyyah.
Berlangsunglah perundingan antara kedua belah pihak. Jalannya perundingan tidak selancar yang diharapkan karena masing-masing pihak ingin mencapai hasil yang tidak merugikan kepentingannya.
Kecerdasan Suhail nampak jelas pada proses pembuatan perjanjian tersebut. Tatkala Nabi berkata kepada Ali: Tulislah Hai Ali; Bismilahirohmanirohimm!”. Spontan Suhail menyanggah dengan mengatakan, “Saya tidak kenal kalimat itu tapi tulislah Bismikalaahuma!”. Ini sebenarnya pernyataan diplomatis dari  Suhail bin Amr. Ia secara menolak secara tidak langsung (indirect) usulan Nabi Muhammad SAW.
Suhail tahu bahwa kalimat “Bismilaahirohmanirohim” bukanlah semata kalimat yang hampa dari nilai. Tapi kalimat itu sarat dengan ideologi atau nilai yang dibawa oleh Rasululah yang bertentangan dengan ideologi Suhail dan yang diwakilinya (kaum kafir). Jadi, tidak salah kalau elit politik kalangan kafir memilih Suhail bin Amr sebagai delegasi. Selain menolak usulan kalimat dari Nabi SAW ia juga menawarkan kalimat lain sebagai pengganti yang tidak berseberangan dengan ideologi yang dibawa oleh Suhail.
Nabi kemudian mengusulkan kalimat perjanjian berikutnya: Ali tulislah! Perjanjian ini dibuat oleh Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr. Lalu serta merta Suhail berkata: kalau kami mengakui anda sebagai seorang Rasul mengapa kami susah-susah menghalangi kalian ke Baitullah dan memerangi kalian.  Lalu Nabi balik berkata: ”Saya adalah seorang Rasul meskipun kamu tidak mengakuinya. Lalu Suhail memerintahkan Ali: “Ali! Tulislah Perjanjian ini dibuat oleh Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Lagi-lagi Suhail menunjukan kecerdasannya. Ia sadar seandainya ia menyetujui kata Rasulullah yang melekat pada nama Muhammad. Jika ia menyetujuinya berarti ia mengakui pula bahwa memang betul Muhammad itu adalah seorang Rasul. Berbeda konsekuensinya dengan Muhammad Bin Abdullah yang mengindikasikan Muhammad itu tidak lain adalah seorang manusia biasa anak dari Abdullah.
Kali ini Ali dengan keimanannya menolak dengan tegas untuk mengganti kalimat Muhammad Rasulullah dengan Muhammad bin Abdullah, akan tetapi Rasululah berkata: “Wahai Ali, tunjukkanlah dimana tempatnya!, Aku sendiri yang akan menghapusnya”. Hikmah dari dialog antara Rasulullah SAW dengan Suhail ini adalah Nabi mencontohkan kepada umat Islam agar harus senantiasa menjadi pemrakarsa (pioneer) atau pengambil inisiatif (initiator) dalam berbagai bidang. Masalah apakah inisiatif itu diterima atau tidak itu adalah tergantung dari perjuangannya kemudian.
Kemudian fakta sejarah dari dialog antara Nabi SAW dengan Ali ra – “Wahai Ali, tunjukkanlah dimana tempatnya!, Aku sendiri yang akan menghapusnya”- menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW betul-betul Nabi yang ummi atau tidak bisa baca-tulis, Al-Qur’an adalah kebenaran dari Allah SWT yang diwahyukan kepada Beliau. Meskipun prosesi penulisan naskah perjanjian itu tersendat-sendat, akhirnya dapat diselesaikan dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Maka, lahirlah perjanjian yang dalam sejarah terkenal dengan nama “Perjanjian Perdamaian Hudaibiyyah” (“Shulhu-Hudaibiyyah”).[7]
Setelah Rasulullah menyelesaikan pembahasan perjanjian hudaibiyah, beliau memerintahkan untuk, “bangkitlah dan sembelih hewan Qurban!”. Demi Allah  tidak ada diantara orang muslim yang bangkit sekalipun Rasulallah sudah mengatakan tiga kali. Karena hal itu, maka Rasulullah masuk ke rumah Ummu Salamah.
Beliau menceritakan apa yang dilakukan para sahabat. Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kamu suka hal itu terjadi? Keluarlah dan engkau  tak perlu mengeluarkan sepatah kata pun kepada seseorang  sehingga engkau menyembelih unta kurban dan meminta seorang pencukur  untuk mencukur rambut engkau.[8]
Atas saran Ummu Salamah inilah beliau keluar lagi dan melakukan hal tersebut. Saat para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah, mereka pun bangkit dan mengikutinya, mereka saling mencukur dan menyembelih hewan qurban, satu ekor unta untuk tujuh orang, begitu pula sapi.
Rasulullah menyembelih sapi yang dulunya milik Abu Jahl, yang di hidungnya ada cincin perak, dengan maksud untuk memancing kejengkelan kaum musyrik. Beliau memanjatkan doa, memohon ampunan tiga kali bagi orang yang sudah menyembelih hewan Qurban dan bagi mereka yang telah mencukur rambut.

3.    Pasal-Pasal Perjanjian Hudaibiyah
Mengenai Klausul atau Pasal-pasal Perjanjian Hudaibiyyah adalah intinya sebagai berikut:
1.    Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2.    Jika ada orang dari kaum musyrikin Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Rasulullah SAW, ia harus dikembalikan kepada mereka.
3.    Jika ada seorang dari pengikut Rasulullah saw menyeberang ke pihak kaum musyrikin Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada beliau.
4.    Orang-orang Arab atau kabilah yang berada di luar perjanjian itu diperbolehkan menjalin persekutuan dengan kelompok Muhammad.
5.    Orang-orang Arab atau kabilah yang berada di luar perjanjian itu diperbolehkan menjalin persekutuan dengan kelompok Quraisy.
6.    Untuk tahun itu Rasulullah SAW dan kaum muslimin rombongannya harus pulang ke Madinah.
7.    Nabi Muhammad akan dibolehkan memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dengan syarat:
a.    Mereka tidak akan tinggal di Makkah lebih dari tiga hari.
b.    Mereka tidak akan membawa senjata selain pedang di dalam sarung.[9]

C.           Analisis Perjanjian Hudaibiyah dalam Problematika Dakwah
Perjanjian Hudaibiyah adalah bukti sejarah Islam mengenai persetujuan antara kaum kafir Quraisy dengan Muslimin. Perjanjian tersebut memberikan gambaran besar terhadap kemenangan bagi Islam, walaupun secara tertulis perjanjian hudaibiyah ini tidaklah menguntungkan bagi kaum muslimin Rasulullah SAW. Namun dengan memiliki keyakinan atas petunjuk pesan ilahi. Bahkan diantara sahabat nabi meragukan dan  memperdebatkan keputusan nabi dalam kesepakatan kaum Quraisy. Sebagaimana sesuai dengan Firman Allah dalam al-Qur’an al-Maidah ayat 49:

Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

1.        Hikmah Perjanjian Hudaibiyah
a.         Menjadi Muqadimah Penaklukan Kota Mekah
Perjanjian Hudaibiyah ini merupakan “muqaddimah” bagi penaklukkan kota Mekkah. Kesuksesan  perdamaian ini merupakan perkara gaib yang tersimpan di dalam pengetahuan alam semesta. Kaum muslimin pada saat itu tidak menyadari isyarat tersebut karena masalah ini termasuk masa depan yang gaib bagi mereka. Akan tetapi fakta membuktikan, bahwa perjanjian Hudaibiyyah memang merupakan suatu kemenangan.[10]
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa perjanjian itu dalam dua tahun saja telah memperlihatkan keberhasilan dan kemajuan yang pesat yang sangat menguntungkan Islam dan kaum Muslimin. Dengan adanya perjanjian tersebut kaum musyrikin Quraisy tidak dapat lagi memandang Rasulullah sebagai pemberontak, tetapi mengakui beliau sebagai pemimpin yang berhak dihormati dan sekaligus mengakui kekuatan dan kekuasaan Islam di Madinah.
Dengan perjanjian Hudaibiyyah itu juga mereka mengakui hak kaum Muslimin berziarah ke Ka’bah dan menunaikan ibadah haji dan umrah. Persetujuan gencatan senjata yang berlaku selama 10 tahun menjamin keamanan dakwah dan membuka jalan bagi perluasan agama Islam ke berbagai daerah. Imam Ibn Syihab Az-Zuhriy (wafat tahun 124 H) mengatakan, bahwa dalam waktu dua tahun setelah perjanjian Hudaibiyyah ditandatangani jumlah orang Islam yang masuk Islam jauh lebih banyak dari pada jumlah kaum muslimin sebelum adanya perjanjian itu.
Kaum lemah di Makkah menggunakan kesempatan berlakunya persetujuan gencatan senjata untuk beramai-ramai masuk Islam. Kaum muslimin dapat leluasa bergaul dengan orang kafir guna menyampaikan dakwah Islam dan memperdengarkan ayat-ayat Qur’an kepada mereka. Dengan terjaminnya kebebasan mendakwahkan agama Islam di Makkah dan dengan semakin meluasnya agama itu di kota tersebut kaum musyrikin semakin merasa sempit dan tidak dapat berbuat sesuka hatinya.
Kaum Musyrikin Quraisy lebih terpukul lagi dengan masuknya Khalid bin Al-Walid ke dalam agama Islam. Ia seorang panglima pasukan berkuda yang tenar, cerdas dan ahli siasat perang. Setelah memeluk Islam ia menunjukkan kesetiaan yang besar kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga Rasulullah saw sendiri menjulukinya dengan nama “Saifullah” (“Pedang Allah”).
Di  tangan Khalid bin Al-Walid itulah Allah menundukkan negeri Syam di hadapan Islam. Menyusul kemudian Amr bin Al-Ash, salah seorang panglima kenamaan yang kemudian dengan gemilang merebut negeri Mesir dari Romawi. Ibnu Hisyam meriwayatkan dari ibnu Ishaq dari az-zuhri , ia berkata ,”belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam penaklukan (futuh) yang lebih besar dari perdamaian hudaibiyah.[11] Karena itu, al-Qur’an menyebut peristiwa ini dengan istilah fath (kemenangan).

b.        Menjadi Pembenaran Terhadap Wahyu Kenabiaan
Dengan perdamaian tersebut, ingin menampakkan perbedaan yang sangat jelas  antara wahyu kenabian dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan (taufiq) Nabi yang diutus dan tindakan seorang pemikir jenius, Allah ingin memenangkan nubuwwat Nabi nya, Muhammad SAW, di hadapan penglihatan setiap orang yang cerdas dan berpikiran mendalam.
Karena itu Nabi Muhammad SAW memberikan semua persyaratan yang diminta kaum musyrikin. Para sahabat merasa cemas dengan keputusan Nabi Muhammad dalam perjanjian tersebut. Kemudian mereka diharuskan kembali ke Madinah, Nabi memerintahkan untuk mencukur rambut dan menyembelih binatang qurban, Nabi memberikan pengulangan perintah itu sebanyak tiga kali.
Pada saat itu para sahabat menganalisis dan mengamati tindakan dan kapasitas Nabi sebagai manusia biasa. Karena itu mereka tidak dapat  dan memahaminya kecuali sebatas apa yang dapat dipahami oleh akal mereka sebagai manusia biasa dan didasarkan kepada pengalaman-pengalaman empiris. Sementara Nabi melakukannya tindakan demikian berpijak di atas pijakan kenabian.
Perintah ilahi semata-mata yang melandasinya, setelah beberapa hari tinggal di Hudaibiyyah Rasulullah SAW bersama semua rombongan beranjak pulang ke Madinah, dengan harapan akan kembali ke Makkah tahun depan. Sebagian dari mereka masih merasa kecewa karena tidak dapat menerima kekalahan atau menyerah tanpa peperangan.
Hanya keimanan dan kepercayaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya sajalah yang dapat menenteramkan hati. Di tengah perjalanan pulang ke Madinah turunlah firman Allah :

Artinya:“Telah Kami limpahkan kepadamu (hai Muhammad) suatu kemenangan nyata; Allah mengampuni kekeliruanmu yang telah lalu dan yang akan datang, dan Allah akan mencukupkan karunia-Nya kepadamu serta membimbingmu ke jalan lurus, dan hendak menolongmu dengan pertolongan sekuat-kuatnya” (Al-Fath : 1-3).
Tidak heran jika kaum muslimin tercengang menanggapi sikap Rasulullah yang di luar jangkauan pemahaman dan ukuran manusia pada umumnya, setelah dibacakan ayat tersebut kepada mereka, barulah para sahabat menyadari bahwa kesediaan mereka menerima syarat-syarat perdamaian tersebut merupakan “mata air” kemenangan bagi mereka. Secara sepintas akal manusia perjanjian itu memberikan kemenangan kepada kaum musyrikin namun ternyata sebaliknya, kemenangan di pihak muslimin.

c.         Menjadi Bukti Kemenangan yang Nyata
Sebagaimana beberapa pendapat yang saya kutip dari Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, sesuatu tersirat bukti nyata kemenangan Islam. Pertama  Nabi Muhammad dan Kaum Muslimin tidak lagi dipandang sebagai kaum pemberontak atau kaum pembangkang, tetapi sebagai kaum yang sudah tegak sama tinggi dan duduk sama rendah di tengah-tengah komunitas Arab lainnya. Sebelum Perjanjian Hudaybiyah ditandatangani,  komunitas kaum Muslimin di Madinah, walaupun sudah membentuk kekuasaan tertentu, tetap dipandang oleh komunitas Arab Mekkah sebagai pemberontak yang melarikan diri dari Mekkah. Oleh sebab itu ummat Islam Madinah dijadikan musuh yang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Maka dengan penandatanganan tersebut, maka tak pelak lagi perjanjian Hudaybiyah, demikian kata Said Ramashan, “merupakan mata air kemenangan bagi kaum Muslimin dan kehinaan serta kekalahan bagi kaum Musyrikin, kendatipun secara sepintas terlihat bahwa perdamaian tesrebut memberikan kemenangan kepada kaum Quraisy sendiri”[12]
Kedua, pengakuan bahwa Kaum Mslimin berhak berziarah dan melakukan upacara ibadah haji di Ka’bah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Islam. Pengakuan terhadap hak untuk perziarah sangatlah penting, dalam rangka mengangkat percaya diri kaum muslimin. Andaikata Perjanjian Hudaybiyah tidak ditandatangani, kaum Muslimin akan tetap dilarang masuk tanah suci dan melaksanakan ziarah ke masjid serta melalukan ritual thawaf di sekeliling Ka’bah.
Dengan munculnya pengakuan kebolehan menziarahi Ka’bah dan pelaksanaan ritual sesuai dengan tuntunan  Islam tersebut, berarti diakui pula bahwa Islam sebagai salah satu agama yang sah dan dianut oleh salah satu komunitas di Jaziarah Arabia, yakni komunitas kaum Muslimin. Sebelum perjanjian Hudaybiyah, Islam tidak diterima sebagai agama. Bahkan dalam pandangan  Kabilah Arab yang ada di Mekkah apa yang diajarkan oleh Muhammad SAW adalah suatu penyelewengan dari ajaran nenek moyang mereka yang harus ditumpas dan dilenyapkan.
Ketiga, karena suasana damai, terbuka kesempatan bagi Nabi Muhammad untuk berrdakwah secara tertulis (da’wah bi al-kitabah). Hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah melalui pengiriman surat kepada raja-raja dan kepala negara tetangga dengan Madinah untuk diajak masuk Islam. Tentu saja hal ini merupakan perkembangan dari dimensi dakwah, yang sebelumnya dilakukan melalui himbauan dan seruan secara lisan, tetapi sekarang sudah dapat dilakukan secara tertulis.
Sekurang-kurangnya ada enam surat dakwah yang dikirimkan oleh Nabi kepada para raja dan penguasa tetangga Madinah, seperti kepada Kaisar Romawi Heraklius, Raja Persia Abruwaiz bin Harmizan bin Abu Syirwan, Raja Negus, Penguasa Mesir Muqawqis dan Raja Umman Jaifar dan Abdun. Surat tersebut berisi ajakan untuk hidup berdampingan secara damai serta ajakan untuk menerima Islam sebagai pegangan hidup. Para raja dan penguasa yang dikirimi surat-surat dakwah tersebut, ada yang menerima dan ada pula yang menolak.

d.        Menjadi Bukti Bertambahnya Keimanan dan Kepatuhan
Bertambahnya iman, ketundukkan dan kepatuhan yang dianugrahkan Allah kepada orang beriman terhadap apa yang mereka sukai dan mereka benci. Juga kian mantapnya keridhaan kepada qadha  dan takdir Allah, keyakinannya kepada janjinya dan kesaksiannya terhadap karunia dan nikmat Allah berikut ketenangan yang diturunkan-Nya kepada hati mereka yang amat dibutuhkan pada kondisi apapun.
Allah memberikan ketenangan hati mereka sehingga hati mereka benar-benar tentram, jiwa mereka kuat dan iman mereka bertambah.
Dalam hal ini dibuktikan dengan beberapa kisah yaitu kisah Abu Jandal (Anak Suhail bin Amr) datang melarikan diri dari kaum musyrikin dalam keadaan terborgol rantai besi kemudian bapaknya berdiri menangkapnya seraya berkata, ‘wahai Muhammad, permasalahan sudah kita sepakati sebelum anak ini datang. ‘Nabi Muhammad SAW menjawab, “engkau benar.” Akhirnya , Nabi menyerahkan Abu Jandal kepada Quraisy  kendatipun Abu Jandal berteriak-teriak dengan suara keras, ‘wahai kaum muslimin! Apakah aku diserahkan kembali kepada kaum musyrikin yang akan merongrong agamaku?” Nabi bersabda kepada Abu Jandal, ‘wahai Abu Jandal, bersabarlah dan berserah dirilah(kepada Allah)! Sesungguhnya, Allah pasti memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang yang tertindas. Kita telah membuat perjanjian kepada mereka dan kita tidak boleh menghianatinya.’
Akan tetapi, apa yang terjadi setelah itu? Sesampainya di Madinah, datanglah kepada Nabi salah seorang Quraisy bernama Abu Bashir menyatakan masuk Islam. Kaum Quraisy kemudian mengutus dua orang utusannya untuk meminta pemulangan Abu Bashir.
Sesuai perjanjian yang telah disepakati, maka Nabi menyerahkan Abu Bashir kepada mereka dan kedua utusannya membawanya pulang. Akan tetapi, ketika sampai di Dzil hulaifah, Abu Bashir berhasil merebut pedang salah seorang dari utusan tersebut dan membunuhnya, sedangkan temannya lari menyelamatkan diri. Abu Bashir kemudian kembali menemui Rasulullah seraya berkata, ‘wahai Nabi Allah, sungguh demi Allah, Allah telah memenuhi apa yang pernah engkau janjikan. Engkau kembalikkan aku kepada mereka kemudian Allah menyelamatkan aku dari mereka. ‘ia lalu pergi ke Syaiful Bahr (daerah pantai) yang kemudian disusul oleh Abu Jandal. Akhirnya, tempat ini menjadi tempat penampungan kaum Muslimin dari penduduk Mekkah.
Semua orang Quraisy yang telah menyatakan diri masuk Islam pergi menyusul Abu Bashir dan kawan-kawannya ke tempat ini. Setiap ada khalifah Quraisy membawa perdangan ke negri Syam, mereka selalu mencegatnya dan mengambil harta benda mereka. Akhirnya, kaum Quraisy mengirim utusan kepada Rasulullah dan mereka meminta agar menerima dan menarik mereka ke Madinah. Mereka pun kemudian datang ke Madinah.[13]
Nabi dalam suatu pendapat menolak jika wanita-wanita  mengembalikan wanita mukmin yang hijrah, setelah adanya genjatan senjata itu Ummu Kulthum keluar dari Mekkah. Saudaranya, Umara dan Walid, yang kemudian menyusul, menuntut kepada Rasulullah supaya wanita itu dikembalikkan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian Hidaibiyah. Namun Nabi menolak. Ia berpendapat, bahwa menurut hukum, kaum wanita tidak termasuk dalam persetujuan itu.
Apabila ada wanita yang minta perlindungan, maka harus dilindungi. Di samping itu, bilamana wanita itu sudah masuk Islam, maka suaminya yang masih musyrik sudah tidak sah lagi. Mereka harus berpisah.[14] Dalam hal inilah firman Allah, sebagaimana   didalam surat Al- Mumtahanah:10

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

 Nabi Muhammad menguji para wanita itu berdasarkan perintah dari Allah, dalam surat yang sama yaitu Al-Mumtahanah:12

Artinya: Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Siapa yang menerima syarat-syarat ini, maka beliau bersabda kepadanya, “Aku telah membaiatmu”.  Setelah itu beliau tidak mengembalikkan mereka kepada pihak Quraisy. Dengan hukum dalam ayat- ayat ini, orang Muslim menceraikan istri-istri mereka yang kafir. Sehingga saat itu pula Umar bin Khatab menceraikan dua istrinya yang kafir. Lalu salah seorang dari keduanya dikawini Mu’awiyah dan satunya di kawin Shafwan Bin Umayyah.
e.         Menjadi Bukti Keberhasilan Dakwah Secara Damai
Perjanjian hudaibiyah ini memberikan nilai positif terhadap dakwah Nabi karena penaklukkan kota Mekkah dengan cara damai dan penuh rahmat, bukan penaklukkan yang menimbulkan tragedi dan peperangan. Penaklukkan yang menjadikan umat manusia berduyun-duyun memeluk Islam dan menerima tobat orang yang telah menganiaya dan membunuh Nabi. Karena itu, sebelumnya Allah menyelenggarakan pendahuluan ini dan menjadikan mereka dapat menerima kebenaran yang mutlak ini.
Dakwah sebagaimana yang dipahami adalah ajakan atau seruan untuk menciptakkan suasana damai dan tentram serta penuh dengan kesejukan. Ia merupakan ajakan untuk memahami dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Ada proses merubah atau memindahkan situasi masyarakat yang tidak menggembirakan, dari masyarakat yang sering tawuran kepada masyarakat yang cinta damai dan melaksanakan perdamaian itu dengan konkrit.[15]
Dalam Bukunya Tazkirat al-Du’at, Bahi al-Khuly menjelaskan bahwa dakwah itu adalah upaya memindahkan manusia dari satu situasi kepada situasi yang lebih baik. Dakwah memang berinti pada pengertian mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan lemah lembut dan menyejukkan.
Dan itu dilakukan dengan tujuan untuk tegaknya agama Islam dan berjalannya sistem Islam dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Atau dengan kata lain dakwah sebenarnya bertujuan menghidupkan, memberdayakan, sehingga masyarakat memperoleh momentum untuk untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan, serta menimbulkan suasana kondusif bagi tegaknya nilai-nilai agama.
Islam adalah agama dakwah, maksudnya agama yang disebarluaskan dengan cara damai, tidak lewat kekerasan. Walaupun ada beberapa peristiwa perang yang terjadi itu dalam rangka mempertahankan diri umat Islam atau melepaskan masyarakat dari penindasan tirani bukanlah dalam rangka penyebaran agama Islam.
Keyataannya setelah persetujuan peletakkan senjata itu Islam memang menyebar luas, berlipat ganda lebih cepat dari pada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyah ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah  10000  orang.[16]

2.        Analisis Pasal-Pasal Perjanjian Hudaibiyah
a.         Pasal-Pasal yang Menguntungkan Kaum Muslimin
1)        Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2)        Orang-orang Arab atau kabilah yang berada di luar perjanjian itu diperbolehkan menjalin persekutuan dengan kelompok Muhammad.
Dari kedua pasal tersebut sangatlah dimanfaatkan oleh Nabi Muhammad, beliau lebih mengetahui tentang prediksi kemenangan atas janji Allah dan adanya keyakinan dari kesepakatan dalam perjanjian tersebut yang akan membawa peluang besar dalam dakwah.
Islam karena terkait beberapa isi pasal bahwa masing-masing pihak diberikan kebebasan dalam bersekutu, hal tersebut di jadikan sebagai kemudahan bagi terwujudnya dakwah Islam tanpa adanya peperangan dan nilai urgensinya adalah manifestasi dakwah Islam dengan perdamaian.
Perjanjian hudaibiyah ini, ternyata secara faktual dapat membawa kemudahan dalam dakwah Islam, sebagaimana dibuktikan pada sejarah terhadap peningkatan kuantitas pengikut Rosulullah setelah perjanjian hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah ini telah berhasil menghindarkan dan memberikan keamanan kepada manusia sehingga mereka bisa melakukan dialog dan perundingan.
Selama masa perdamaian ini, tak seorang pun yang berakal sehat yang diajak bicara tentang Islam kecuali segera masuk Islam. Selama dua tahun,orang-orang yang masuk Islam sebanyak jumlah orang-orang  Islam sebelum  peristiwa tersebut atau mungkin lebih banyak.[17] 
Dalam konteks problematika dakwah  nampaknya dakwah Islam harus dilakukan dengan upaya yang serius dan tidak hanya cukup dilakukan dengan dakwah bil lisan saja, dakwah yang dibutuhkan adalah kerja nyata yang mampu menimbulkan perubahan-perubahan sosial kemasyarakatan dan mampu memberikan solusi bagi permasalahan umat.
Problematika dakwah bukanlah permasalahan individu, namun merupakan permasalahan bersama serta solusi terhadapnya. kebersamaan dapat menjadi pengerat tali persaudaraan, bukan menjadi hambatan terhadap lahirnya perpecahan dan terwujudlah kondisi yang Islami.
Problematika  dakwah pada perjanjian hudaibiyah ini mampu menghantarkan kemenangan bagi kaum muslimin, bahwa keberhasilan dakwah Nabi telah mampu menghilangkan sekat permusuhan, Islam mampu menjadi pedoman dalam hidup, terjadinya penerimaan praktek-praktek peribadatan dalam Islam yang tadinya di tentang oleh kaum musyrik. Mereka tidak merasa takut menunjukkan keislamannya, hal ini merupakan salah satu perwujudan kemenangan Islam.


b.        Pasal-Pasal yang Merugikan Kaum Muslimin
Adapun Pasal-Pasal yang merugikan Kaum Muslimin, diantaranya:
1)        Pada Tahun tersebut harus meninggalkan Mekkah, tidak boleh melaksanakan Haji;
2)        Orang yang ingin bergabung ke kelompok Muhammad tanpa seizin wali, harus dikembalikan;
3)        Orang yang ingin bergabung ke kelompok Quraisy walaupun tidak seizin walinya, tidak dikembalikan.
Secara redaksional pasal-pasal tersebut merugikan dan merendahkan kaum muslimin, namun Nabi tidaklah terlalu memperuncing permusuhan dengan memperdebatkannya, Karena Nabi memiliki alasan terhadap pasal-pasal berikut. Pada pasal 1, hal itu merupakan prasyarat bagi kaum muslimin karena kelompok quraisy tidak menginginkan mereka kehilangan kewibawaan dihadapan masyarakatnya atas kedatangan Nabi, jika mereka menerima kedantangan Nabi pada saat itu, mereka dia anggap telah di kalahkan oleh kaum muslimin. Oleh karena itu, diputuskan agar kaum muslimin kembali pada tahun depan.
Pada pasal 2 dan 3 memiliki keterikatan namun berbeda makna. Sebagaimana pada pasal 2 adalah sebuah tindak keegoisan bagi kaum Quraisy namun kebijakan Nabi pun benar bahwa ia tak mempersulit dalam hal  pasal tersebut karena jika ada kaum muslimin yang berada di daerah kaum Quraisy berarti ia telah murtad dan diragukan kesetiaanya.

D.           Kesimpulan
Dari hasil paparan diatas, bahwasanya perjanjian Hudaibiyah merupakan salah satu strategi dakwah yang telah terbukti keberhasilannya. Walaupun secara redaksional tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dan berkesan mendeskritkan, namun ternyata mampu menunjukkan kedahsyatan sesuatu yang tersirat dari perjanjian tersebut.
Diantaranya terdapat pasal-pasal yang merugikan, sebagaimana telah diuraikan pada makalah ini, pasal tersebut dijadikan sebagai nilai kerendahan hati atas diplomasi yang ulung. Dan merupakan prasyarat yang terlebih dahulu dipatuhi agar proses dakwah tetap berlangsung.  Jika ditelaah, apabila dari pihak Muhammad datang ke wilayah Quraisy tanpa seizing walinya, tidak akan dikembalikan dan tidak akan diberlakukan sebaliknya.
Hal itu tidak diperdebat panjang lebar oleh Nabi karna hal tersebut sebagai pengujiannya kepada umatnya untuk menjaga keimanannya dan tidak berada di daerah lawan. Dan pada salah satu pasal lainnya, Nabi diminta untuk kembali pulang karena mereka malu jika kaum muslimin masuk pada tahun itu juga berarti mereka telah dikalahkan
Sedangkan pasal-pasal yang menguntungkan kaum muslimin dijadikan sebagai muqadimmah atas dakwah Islam di kawasan Mekkah yang merupakan kawasan yang masih kental akan praktek kejahiliyahannya. Pasal-pasal yang menguntungkan tersebut merupakan kemudahan dalam  proses dakwah. Pasal tersebut memberi peluang bagi pihak Nabi untuk secara damai melakukan dakwah.
 Karena  dengan  dakwah dalam kondisi damai mampu memberikan ketenangan bagi para sahabat dan kaum muslimin dalam menyebarkan agama Islam tanpa ada perasaan takut dari pihak penguasa Quraisy. Begitupun dengan praktek-praktek ibadah yang terdapat dalam ajaran Islam, mereka tidak ada rasa sembunyi untuk melakukannya, sebagaimana kondisi tersebut terjadi sebelum perjanjian Hudaibiyah.
Keyataannya setelah persetujuan peletakkan senjata itu Islam memang menyebar luas, berlipat ganda lebih cepat dari pada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke hudaibiyah ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah  10000  orang.
Sehingga dari paparan diatas telah menunjukkan bahwa perjanjian  hudaibiyah sebagai perjanjian antara kaum muslimin dan kafir Quraisy, secara redaksional menunjukkan kekalahan bagi kaum muslimin namun secara factual merupakan kedahsyatan dakwah Rasulullah sebagai pengembangan dakwahnya ke wilayah Mekah.


























DAFTAR PUSTAKA

Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyyah : Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakkan Islam di Masa Rasulullah SAW, (Jakarta :  Rabbani Press, 2006).
Al-Husaini, Al Hamid, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad S.A.W, (Jakarta : Al-Hamidiy, 1993).
Al-Jauziyah,  Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 1999).
Al-Mubarakfury, Syaikh Syafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, cet.25,2007).
Al-Qahthani, Said Bin Ali, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994).
Al-Suyuthy, Jalal al-Din Abd al-Rahman,  Lubab al-Nuqul  fi Asbab al-Nuzul, (Qahirah : 1280 H).
­­­­             ,Fiqh al-Sirah Dirasat Manhajiyyah Ilmiyyah li Sirat Al-Musthafa SAW, terj. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, (Jakarta : Robbani Press, Cet. I, 1993).
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Cet.3, 1979).
Haikal, Muhammad Husein, Hayatu Muhammad, (Cairo : Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1965).
Jabar, Umar Abdul, Ringkasan Nurul Yaqien: Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Surabaya : Al-Hikmah, Vo. II).
   Karim, Helmi,  Fiqh Muamalah, (Jakarta :  Raja Grafindo Persada, Cet. 3, 2002).
Razwy, Sayed Ali Asgher, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan & Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur & Barat, (Jakarta : Zahra, Cet. Ke-1, 2004).
Subhani, Ja’far, Ar-Risalah Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, Cet. Ke-1, 2002).
Suminto, Aqib, Problematika Dakwah, (Jakarta : Tintamas, 1973).
http://coretantanpakertas.wordpress.com/­­­Perjanjian-Hudaibiyah.
http// yunan yusuf.com/ ReinterpretasiMakna-Untuk- Reaktulisasi-Dakwah.
http// yunan yusuf.com/ Sulhu–Hudaibiyah-dalam-Perspektif-Dakwah.











[1] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. 3,2002), hal. 49.
[2] ­­­Perjanjian Hudaibiyah, Website : http://coretantanpakertas.wordpress.com, Posted On: 2010/06/03. Kategori : Artikel.
[3] Umar Abdul Jabar, Ringkasan Nurul Yaqien: Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Surabaya : Al-Hikmah, Vo. II),  hal. 36.  
[4]Muhammad Husein Haikal, Hayatu Muhammad, (Cairo : Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1965), hal. 396.
[5] Ibid., hal. 401.

[6] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthy, Lubab al-Nuqul  fi Asbab al-Nuzul, (Qahirah : 1280 H), hal. 134.
[7] Al Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad S.A.W, (Jakarta :  Al-Hamidiy, 1993),  hal. 667.
[8] Syaikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, cet.25, 2007), hal. 394.
[9]  M. Yunan Yusuf, Sulhu Hudaibiyah dalam Perspektif Dakwah, website : http// yunan yusuf.com, posted on: February 22-2010.  Kategori: Artikel.
[10] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakkan Islam di Masa Rasulullah SAW, (Jakarta :  Rabbani Press, 2006), hal. 344.
[11]Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, op. cit., hal. 345.
[12] Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Fiqh al-Sirah Dirasat Manhajiyyah Ilmiyyah li Sirat Al-Musthafa SAW, terj. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, (Jakarta : Robbani Press, Cet. I, 1993), hal. 21.

[13] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Zadul Ma’ad, (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 1999), hal. 250.
[14]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta : PT Tintamas Indonesia, Cet.3, 1979), hal. 409.
[15] M. Yunan Yusuf, Reinterpretasi Makna  Untuk Reaktulisasi Dakwah, website : http// yunan yusuf.com, posted on:February 22-2010. Kategori: Artikel.

[16] Muhammad Husain Haekal, op.cit., hal.  405.


[17] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah,  op. cit.,  hal.  344.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar